28 April 2014

Elementary School March


Pagi ini mendadak ada suara gemuruh seperti marching band, yang semakin lama semakin mendekat. Kucing-kucing mulai panik,dan beberapa langsung bersembunyi karena kehebohan ini.


Rupanya anak-anak SD Tanjung Duren Selatan sedang mengadakan pawai untuk memperingati hari Kartini.


Rombongan paling depan berisi anak-anak marching band, dengan berbagai alat musik. Tidak bisa dibilang rapi, tapi ya lumayan lah, usaha yang patut dihargai.


Setelah rombongan pemain musik berlalu, dibelakangnya anak-anak lain berbaris tidak rapi, masing-masing mengenakan beraneka ragam baju daerah, dari seluruh penjuru nusantara. Gak cuma baju daerah, ada juga yang memakai baju petani, seragam polisi dan lain-lain.

Tapi salut juga ada yang pakai baju ala Papua, meskipun diganti dengan tali rafia. Kurasa itu pakaian paling murah-meriah, gak perlu ke salon seperti baju adat lainnya.



Semula aku pikir pawai ini akan parkir di TK samping rumah, ternyata lanjut terus. Waduh, padahal ujung gang itu jalannya kecil banget, cuma cukup untuk dilewati motor. Kayaknya pawainya agak maksain biar lewat depan kantor kelurahan.

Belakangan aku mulai berpikir, mengapa hari Kartini diperingati dengan berbagai mengenakan pakaian adat daerah. Kartini kan tokoh pemikir emansipasi wanita, apa hubungannya dengan baju adat? Sementara justru hari Sumpah Pemuda jarang diperingati semeriah ini. Kayak gak nyambung dengan semangat Kartini. Ah sudahlah... mungkin sudah jadi tradisi, dan sayangnya para pekerja di dunia pendidikan cukup enggan meninggalkan tradisi dan kurang kreatif menggali semangat Kartini.

27 April 2014

Playing Dove


Di sebuah lahan kosong dekat halte busway Duri Kepa, tampak sekelompok orang sedang bermain burung dara. Kalau istilahku dulu di kampung "ngGabur Dara". Intinya orang akan melepas seekor burung dara, sedangkan orang lain menunggu sambil memegang pasangan burung dara yang dilepas itu. Biasanya burung yang dilepas akan menemukan dan mendatangi pasangannya itu.


Aku sih penasaran, sebenarnya inti atau keasyikan dari permainan ini apa. Yang kutahu, semakin jauh burung dilepas, kalau dia bisa kembali dengan benar, berarti burung itu semakin hebat. Kurang lebih mungkin begitu kali ya.


Tapi heran juga, kok rame juga yang nonton ataupun yang ikutan. Apakah ada lombanya? Atau malah jadi ajang judi? :D
Kalau dipikir bisa juga dijadikan lomba, burung mana yang paling cepat sampai ke tempat pasangannya. Mungkin.

20 April 2014

Easter Day At GKJ Nehemia Jakarta


Seorang bocah sedang bermain dengan balon di depan altar, sebelum ibadah jam 10 pagi dimulai. Sudah lama aku pengen beribadah gereja dalam bahasa Jawa, sedikit bernostalgia. Sayangnya istriku gak suka, karena meskipun orang Jawa, kurang begitu bisa paham dengan bahasa Jawa yang halus. Nah, kebetulan hari ini istriku sakit dan memutuskan untuk tidak pergi ke gereja, jadi aku pergi sendirian ke GKJ Nehemia Lebak Bulus.


Bertepatan dengan perayaan Paskah (Kebangkitan Yesus), meskipun tidak meriah tapi ada beberapa persembahan pujian dari beberapa kelompok, seperti paduan suara lansia, musik pemuda dan grup kentrung. Aku sendiri gak terlalu kenal dengan kelompok-kelompok ini, karena memang bukan warga jemaat sini. Tapi ya enjoy aja.


Group musik ini, dengan baju batik berbunga-bunga warna pink (:D) menyanyikan lagu "Ee mesakkake", lagu baru bagiku. Sebelumnya mereka juga membawakan lagu "Aku Duwe Pamarta". Penampilan yang sederhana tapi menarik. Sayangnya sang pemimpin group malah gak hafal lagunya, padahal suaranya paling kenceng, jadi kadang terasa mengganggu.


Nah kalau ini lebih tradisional lagi, karena pakai gamelan. Aku browsing, nama kelompoknya adalah Kentrunk Seruni. Membawakan lagu rohani dalam nuansa Jawa yang lagunya tidak kukenal. Dinikmati saja.

Bagiku ini pengalaman yang menyenangkan, beribadah dalam suasana tradisional, musik tradisional dan bahasa daerah. Meskipun jemaatnya cuma sedikit, kalau ibadah jam 10 dalam bahasa Jawa ini selalu sangat sedikit, tapi aku enjoy. Lebih banyak personil paduan suara dan majelis gereja daripada jemaat yang hadir :)


Sayangnya aku gak sempat ketemu ibu di sini. Rupanya dia memilih mengikuti ibadah yang jam 5, mungkin biar lebih afdol untuk memperingati kebangkitan Yesus yang terjadi sebelum matahari terbit. Pas aku telpon rupanya dia sudah ada di rumah.

18 April 2014

Good Friday Service 2014


Ibadah peringatan hari Jumat Agung kali ini diadakan di Plenary Hall JCC, tidak seperti 2-3 tahun lalu yang selalu di Gandaria City. Berbekal pengalaman sebelumnya, karena merupakan ibadah gabungan dari berbagai tempat,maka kami berangkat lebih awal. Kebaktian belum dimulai saja sudah tempak penuh gini.


Para kru multimedia sedang mempersiapkan peralatan, sementara di sebelahnya deretan tempat roti dan anggur untuk perjamuan kudus.


Jaman sekarang, anak-anak tetap diajak ikut kebaktian di gereja, tapi mereka dibekali gadget untuk bermain. Maklum juga, toh mereka belum terlalu paham dan pasti bakal bosen. Masalahnya kadang gak cuma anak-anak yang asyik bermain di saat kebaktian berlangsung, tapi juga anak-anak remaja dan bahkan kaum dewasa.

Jadi ingat waktu aku kecil, belum punya gadget begini, dan lagipula merasa "sungkan" kalau bermain di dalam gereja. Solusinya? Aku memilih bermain di luar saja bersama teman-teman, justru tidak mengganggu orang-orang dewasa yang sedang khusuk beribadah (atau tidur) :)


Saking banyaknya pengunjung yang datang, anak-anak muda diminta untuk duduk lesehan di bagian depan, persis di depan mimbar. Meskipun tidak semua, tapi lumayan juga untuk memberi kesempatan bagi orang-orang tua dan anak-anak yang datang lebih lambat sehingga mereka bisa kebagian tempat duduk.


Di tengah maraknya gadget, baik smartphone ataupun tablet, yang berisi aplikasi Kitab Suci, masih ada juga yang setia membawa Kitab Suci tebal untuk ibadah. Kuno, tapi mungkin bagi mereka terasa lebih nyaman jika membawa kitab daripada menggunakan perangkat elektronik. Salut! Aku sendiri mulai malas membawa buku tebal itu, karena repot bawanya, dan merasa lebih praktis pakai smartphone. Tapi aku berusaha komitment, selama ibadah hanya menggunakan smartphone untuk membuka aplikasi kitab suci, bukan untuk update status facebook, twitteran, sms-an dan sebagainya.

17 April 2014

Experience with Jetstar (ValueAir)


Beberapa bulan terakhir ini, Lion Air selalu jadi pilihanku saat bepergian jauh (dan dibayari). Yah, meskipun perjalanan dinas ditanggung kantor, tetap saja aku memilih maskapai yang murah dibanding, ambil contoh Garuda. Namun belakangan aku sedikit terganggu dengan kecenderungan delay yang dialami Lion Air.


Jadi untuk perjalanan dinas minggu ini aku coba maskapai berbeda, atas anjuran seorang teman, yaitu Jetstar. Katanya sih nyaman, dah waktu cek harga tiketnya juga gak terlalu jauh dibanding yang biasa aku pakai. Bedanya sih 600 ribuan, tapi masih dalam budget. Meskipun mereka mengklaim punya harga paling rendah, tapi tetap Lion Air lebih murah dibanding mereka.


Secara umum, fasilitas dan pelayanan, tidak terlalu beda dengan yang biasanya. Keunggulan pertama yang kurasakan adalah tepat waktu dan pesawat langsung siap di Terminal 2, jadi gak perlu naik bis dulu ke terminal lain untuk menuju pesawat. Ok, tiba di tempat tujuan cukup nyaman. Tidak ada masalah. Sepertinya bakal lebih sering pakai maskapai ini.

Btw, kalau di Lion Air kebanyakan penumpang adalah warga Indonesia, dilihat dari logat dan bahasanya, kalau di Jetstar ini aku amati kebanyakan penumpang adalah orang Malaysia. Bahkan krunya sendiri bicara dengan bahasa Malaysia, meskipun secara umum tidak jauh berbeda. Yang unik adalah, waktu berangkat kepala pramugarinya adalah orang Jepang, dan bahasa Inggrisnya terdengar lucu :) Sementara waktu kembali ke Jakarta, pilotnya yang orang Jepang, dari namanya.


Masalah mulai muncul saat check-in untuk perjalanan pulang. Saat beli tiket secara online, memang ada tawaran untuk pembelian paket bagasi. Minimal kalau gak salah 15 ribu untuk bagasi hingga 10kg. Bagasi ini berbeda dengan barang yang kita bawa ke dalam ruang duduk pesawat (hand-carry). Selama ini aku selalu bepergian dengan ringan, tidak banyak barang bawaan. Dengan Lion Air, tidak pernah bawa barang melebihi kapasitas, jadi gak pernah perlu bayar biaya tambahan untuk bagasi. Pokoknya bayar tiket doang.

Eh, rupanya di sini bagasi harus bayar. Pantesan pas berangkat aku disuruh hand-carry koper dan taskku. Masalahnya batas hand-carry adalah 10kg, dan entah mengapa koperku jadi lebih berat. Koperku sih cuma 9 kiloan, tapi ditambah tas ransel berisi laptop dan coklat, total jadi 13 kiloan. Jadi aku dikenakan biaya tambahan, SGD 60..... what????? Memang benar peringatan yang ada di website, kalau gak beli paket bagasi, bisa-bisa kena biaya yang sangat tinggi. Ampun dah! Untuk aku bahwa kartu kredit. Tentu saja istriku sempat kelabakan waktu ada pihak bank menelpon untuk konfirmasi penggunaan kartu kredit ini, karena aku lupa memberitahunya.


Ada sedikit untung juga sebenarnya aku taruh koper di bagasi, soalnya tempat penyimpanan barang di sini sudah sangat penuh. Beberapa orang sempat kebingungan karena sulit meletakkan barang. Tapi tetap harganya tidak bisa aku abaikan. Dalam perjalanan pulang ini baru sedikit aku rasa kalau bangkunya terasa lebih nyaman dan empuk. Dan saat tiba di bandara CGK, aku tidak perlu menunggu lama untuk mengambil bagasi. Kalau pakai Lion Air seringkali dibuat jengkel karena terlalu lama menunggu pengambilan bagasi.

Ok, overall, naik ValueAir (bagian dari Jetstar) memang lebih nyaman dan tepat waktu. Tapi kurasa cukup sekali ini saja aku milih naik maskapai ini. Biaya bagasi yang besar itu sangat mengecewakan, terkesan ada "hidden cost", sesuatu yang tidak aku suka. Hal ini juga mungkin ada di AirAsia, makanya sudah agak lama aku gak naik maskapai negeri jiran itu. Kalau dihitung-hitung, dengan tambahan biaya bagasi, keseluruhan biaya naik Jetstar jadi 2x lipat kalau naik Lion Air.

Jadinya untuk lain kali sepertinya bakal balik lagi ke armada merah putih. Dengar-dengar Citilink sudah mulai melebarkan sayap keluar negeri juga, mungkin bakal nyobain Citilink juga.

East Coast Road


Salah satu perempatan di East Coast Road, kalau gak salah ini di daerah Katong. Perjalanan pulang sehabis sepedaan menyusuri pantai sengaja aku menempuh jalanan biasa, mulai dari jalan Mountbatten, melintasi Katong, Siglap hingga Bedok. Lebih lama karena banyaknya halangan kalau lewat jalur kendaraan umum, belum lagi trotoar yang tidak terlalu mulus. Tapi tetap mengasyikkan karena dapat pemandangan yang berbeda.


Sepanjang jalan aku menjumpai beberapa bangunan gereja yang cukup megah, salah satunya gedung gereja Holy Family Church.


Kalau yang tampak tanda salib itu adalah gereja Holy Grace Presbyterian Church, sudah hampir dekat kawasan Bedok. Hmm... kapan-kapan mungkin perlu bikin posting lebih spesifik tentang gedung-gedung gereja sepanjang jalan ini. Cukup menarik.

Insects in the Underpass Tunnel


Entah kebetulan atau memang selalu ada, pas aku melewati terowongan underpass yang menghubungkan East Coast Park dengan kawasan sekitar Meyer Road, aku menjumpai beberapa serangga.


Setidaknya ada dua jenis serangga yang kutemui, jenis seperti ngengat ini tapi warnanya berbeda. Salah satunya yang berwarna hitam dengan garis-garis merah dan variasi putih kekuningan di sayapnya. Kalau jenis ini aku temukan ada beberapa ekor di tempat terpisah.


Satu lagi yang berwarna kecoklatan seperti ini, nyaris sama dengan warna dindingnya. Untuk yang jenis ini memang aku cuma lihat satu ini saja.


Another Side of East Coast Park


Pagi ini dapat kesempatan lagi untuk jalan-jalan di taman pantai timur Singapura ini, dengan sepeda. Kali ini tujuanku adalah menuju bagian barat taman yang belum pernah aku kunjungi. Kalau aku perhatikan di bagian barat, -- atau mungkin bagian tengah ya :-? --, mulai tampak terlihat banyak pohon kelapa di pinggir pantai. Jadi suasana pantainya benar-benar terasa.


Ada juga kolam-kolam kecil seperti ini, lengkap dengan bangku taman. Yang jelas gak ada orang mancing di sini, gak kayak di taman Catleya Jakarta :) Pagi yang sebenarnya sudah cukup menyengat dengan teriknya, tapi karena taman ini asri dan rindang, jadi panasnya tidak terlalu mengganggu.


Ada beberapa tenda terpasang di sekitar ini. Memang tidak semua area boleh dipakai untuk tempat berkemah, hanya tempat-tempat tertentu saja. Demikian juga untuk bakar-bakaran (BBQ) juga hanya boleh di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Meskipun tidak seramai saat hari sabtu/minggu, tapi pagi ini banyak juga yang beraktivitas di sini. Kebanyakan sih berolahraga, - jalan, bersepeda, jogging dan senam. Tapi ada juga rombongan anak-anak sekolah.


Jalanan di tepi parit, bersih dengan bangku taman dan lampu berjejer, menjadi salah satu ciri khas bagian barat dari taman ini. Andai hari ini bukan hari kerja, pengen rasanya nongkrong berlama-lama di sini.


Inilah ujung barat dari East Coast Park. Sepertinya dari sini masih bisa jalan kaki, atau lanjut bersepeda melalui jembatan penyeberangan ini, atau bisa mengambil jalan raya, dan bisa terus hingga Marina Bay dan bahkan Sentosa - mungkin. Perlu di coba lain kali kalau ada kesempatan lebih longgar :)


Dari ujung taman ini ada underpass yang bisa kupakai untuk menyeberangi jalan tol dan tembus ke Meyer Road. Selanjutnya aku balik ke arah Bedok lewat Katong - Siglap hingga Bedok, gak lagi lewat taman pantai timur. Lebih lama memang, karena harus melewati banyak lampu merah.

13 April 2014

Dinner at FoodRepublic Vivo City


Malam ini aku mampir sebentar ke Vivo City dan makan malam di FoodRepublic yang ada di lantai paling atas. Sebenarnya tujuanku ke sini, selain untuk makan malam, juga berharap menikmati pertunjukan Crane Dance, tapi gagal. Entah karena pertunjukan itu sudah tidak ada atau memang aku salah jadwal.


Setelah ngider2 cukup lama untuk memilih makanan, akhirnya pilihanku jatuh ke masakan Salmon Goreng (Salmon Set). Kalau ini aku yakin ikan salmon beneran. Meskipun sederhana, tapi aku bisa menikmati makan malam ini.


Ada yang unik dengan foodcourt satu ini, yaitu desain interiornya. Berbeda dengan foodcourt di mal-mal pada umumnya yang memakai desain modern, di sini justru interiornya ingin menampilkan suasana pasar jaman dulu. Meja kursi dari kayu dengan model jadul, tembok yang berhiaskan kayu-kayu dan jendela (ornamen doang) tampak seperti jaman kolonial dulu.


 Begitu juga dengan lampu-lampunya, meskipun sudah pakai listrik, gak pakai petromak atau teplok lagi :)

12 April 2014

Ronde Bandung @ Yen Pao



Ronde adalah salah satu minuman favoritku. Minuman panas rasa jahe ini biasanya dilengkapi dengan moci, kacang goreng dan kolang-kaling. Waktu kecil masih banyak aku jumpai pedagang ronde keliling, baik di Jogja maupun Jakarta. Sekarang mulai jarang aku lihat. Tapi di pasar Beringharjo Jogja masih banyak yang berjualan.


Karena mengandung jahe, minuman ini sangat pas dinikmati di tengah suasana dingin.
Siang ini aku nyobain ronde bandung di kedai Yen Pao di Mal Taman Anggrek. Harganya 15ribu per gelas, isi mocinya banyak. Tapi gak ada tambahan kacang ataupun kolang-kaling. Rasa jahenya sangat kuat, kayak bandrek. Ada pilihan gula merah atau gula putih. Sayangnya menurutku rasa pahitnya terlalu kuat, sedang mocinya terlalu manis.

11 April 2014

Karawang


Setelah hampir putus asa menunggu sekitar dua jam, bis ini datang juga. Sejak jam 7 pagi aku menunggu bis APTB Jurusan Kalideres - Cikarang, dan bis ini baru datang sekitar jam 9. Tadinya aku sempat ragu apakah bis ini lewat jalur Slipi Kemanggisan atau gak, tapi petugas tiket meyakinkan kalau bisnya lewat, cuma memang agak lama, biasanya macet parah di Kalideres.

Hari ini aku berniat ke Karawang untuk suatu urusan terkait dengan hutang masa lalu. Tanpa terasa ternyata sudah 10 tahun aku tidak menginjakkan kaki ke daerah di sebelah timur Bekasi itu. Seingatku terakhir aku tinggal di sini bulan Mei 2004, setelah mencari nafkah sekitar 8 bulan. Sepuluh tahun berlalu, banyak perubahan yang terjadi, termasuk jalur angkutan umum. Setidaknya aku tidak lagi bisa menunggu ke Karawang dari persimpangan Cawang-UKI. Seingatku bis-bis dari Kampung Rambutan atau Bogor sudah langsung disuruh lewat tol Cikunir langsung ke arah Bekasi. Mau naik kereta api belum pernah, dan sepertinya jadwalnya sangat terbatas. Jadi aku coba saja naik bis ke Cikarang, terus lanjut ke Karawang.

Tapi di tengah jalan aku mengubah rencana. Rupanya bis APTB ini ada pemeriksaan (kontrol) di salah satu rest area dekat Bekasi. Kulihat ada beberapa bis AGRA jurusan Karawang, jadi aku putuskan untuk turun di rest area ini, sekaligus membeli cemilan dan minuman untuk mengganjal perut. Jadi dari sini aku naik bis AGRA menuju Karawang, langsung lewat tol. Lumayan, meskipun dapatnya bis non AC yang sedikit panas.


Pasar Johar masih seperti dulu, ramai tapi kumuh, dan perempatan dekat pasar ini tetap jadi salah satu titik kemacetan di kota Karawang. Tapi selain pasar ini, bagian lain kota ini sudah mengalami banyak perubahan, yang cukup mengejutkanku.

Salah satunya adalah jalan lingkar luar yang menghubungkan Tanjung Pura ke Klari. Jadi sekarang bis-bis luar kota tidak lagi lewat jalan dalam kota, tapi melewati jalan lingkar luar itu hingga tembus Klari. Awalnya aku sempat bingung kok bis malah menuju Tanjung Pura, menjauhi pusat kota. Tapi karena pas hujan deras, aku coba pasrah saja menunggu. Beruntung sampai di Klari hujan sudah reda dan aku sedikit banyak masih ingat daerah ini. Dari Klari baru naik angkot ke tengah kota.


Bapak supir angkot ini "sumeh" banget, bahkan terlalu gapyak. Sepanjang jalan dia ngomong terus, udah gitu pakai bahasa Sunda pula. Meskipun aku paham yang diomonginnya, tapi susah bagiku untuk menanggapinya. Jadi aku nyengir-nyengir saja sepanjang jalan, di tengah hujan yang masih agak rintik-rintik.

Lagi-lagi aku tertipu oleh informasi dari  internet. Tujuanku ke sini adalah ingin mengunjungi Bank BTN Cabang Karawang. Berdasar informasi dari Om Google, alamatnya di Jalan Suroto Kunto, yang membentang dari Klari hingga Pasar Johar. Ternyata tidak kutemukan satu bank BTN, cuma ada satu kantor kas BTN, itupun sudah di jalan Tuparev. Terpaksa aku telpon ke informasi, dan rupanya alamat Bank BTN ada di jalan Kertabumi. Waduh, tahu gitu kan aku gak perlu keliling hingga Klari :(



Klenteng Bio Tjou Soe Kong di Tuparev, salah satu kelenteng yang ada di Karawang. Seingatku di daerah ini ada beberapa kelenteng dan vihara.


Masih di jalan Tuparev, tepatnya di perlintasan kereta api, kendaraan tampak berebut melaju setelah lama menunggu kereta yang lewat. Perlintasan ini menjadi salah satu titik penyebab kemacetan di sini, dan aku cukup familiar dengan daerah ini karena dulu tinggal di dekat ini. Parahnya lagi, tampak beberapa pengendara motor kesulitan ketika hendak melewati rel kereta api, dan beberapa sempat slip (tergelincir) sehingga mengganggu pengendara lainnya.

Awalnya aku berniat nostalgia dan jalan-jalan di sekitar sini, mengunjungi kompleks tempat aku dulu tinggal. Apadaya, sampai sini saja sudah jam 1 lebih, belum makan, juga belum sampai ke bank untuk membereskan urusan. Meskipun hanya meminta satu lembar surat, ternyata prosedurnya cukup ribet. Urusan baru selesai hampir jam 4 sore. Ya setidaknya urusan lancar. Moga saja gak perlu harus ribet-ribet ke sini lagi, kalau ke sini ya buat jalan-jalan santai saja.


Untunglah perjalananku kembali ke Jakarta tidak seberat perjuangan menuju kota ini. Dengan petunjuk satpam bank, aku diberi tahu untuk menunggu bis di ujung jembatan ini, yang merupakan jalur bis ke Jakarta melalui pintu tol Karawang Barat. Dulu aku kenal jembatan ini dengan sebutan Pabrik Es, karena di ujung jembatan ini kondektur selalu meneriakkan lokasi "pabrik es".

Nah, saat menunggu bis, aku lihat ada mobil Elf (tapi tidak seperti mobil Elf omprengan pada umunya), dan seseorang menghentikannya. Sekilas aku lihat tulisan "UKI" di jendela depan supir. Wah, jangan-jangan ini omprengan ke UKI, jadi aku ikutan naik aja. Ternyata benar, ini semacam mobil travel, kurasa sih angkutan resmi karena berplat kuning dan ada petugas "timer" yang memeriksa, dengan rute Karawang - UKI pp. Mobilnya nyaman, ber-AC dan tarifnya 15 ribu per orang. Lumayan lah, tidak terlalu penat karena jalan menuju Jakarta pasti harus menghadapi kemacetan di sepanjang tol.

Benar-benar hari yang penuh perjuangan. Berangkat pagi jam 7 dan sampai rumah juga jam 7 malam.

09 April 2014

Election Day 2014


Setelah berkali-kali golput, hari ini aku memutuskan untuk menggunakan hak pilihku, meskipun aku milihnya ya asal aja. Ada beberapa alasan seperti namaku sudah terdaftar di DPT, lokasi TPS yang sangat dekat, dan aku menggunakan alasan pemilu ini untuk menunda tugas keluar kota :) Jadi rasanya kok makin besar rasa bersalah jika aku gak ikutan nyoblos dan nyelup.


Pak RT tempatku ternyata jadi ketua TPS :) Aku sempat heran, kok aku gak dapat undangan ya, dan ini jadi salah satu alasan kenapa aku ngotot datang. Banyak desas-desus dan berita kalau surat suara yang tidak dimanfaatkan bisa disalahgunakan untuk berbuat curang. Apalagi pak RT termasuk salah satu jurkam salah satu caleg, dan aku cukup paham lah karakter bapak ini, meskipun belum lama kenal. Jadi aku paksain aja untuk datang, dan karena memang namaku ada di daftar, aku gak ada masalah untuk mendaftar nyoblos meskipun tanpa undangan.


Aku sengaja datang agak siang, memanfaatkan hari libur untuk bangun tidur lebih santai. Alhasil dapat nomor antrian 91. Syukurlah antrian nyoblos ini gak seperti antri di cs bank. Gak sampai 15 menit aku sudah dapat giliran nyoblos. Aku sengaja milih caleg perempuan yang ada di urutan paling bawah, satu untuk partai gurem, satu untuk kandidat pemenang :) Untuk DPD aku milih Sabam Sirait.

Pas aku lagi nunggu giliran nyoblos dan berkeliling TPS sambil motret sana-sini, seorang bapak menghampiriku. Aku kenal dia sebagai penjual nasi uduk, tetanggaku. Dengan ramah dia menyalamiku dan bertanya "Sudah ada calon?". "Sudah", jawabku meskipun ragu. Rupanya dia juga jadi caleg untuk DPRD dari salah satu partai gurem. Ooo... pantesan selama ini di depan rumah ada poster dengan foto kurang jelas yang rasanya aku kayak kenal. Yah, lumayan buat berbasa-basi menunggu giliran.


Sah ...!

Senja di Situ Parigi - Pondok Aren

Kembali nongkrong di Situ Parigi, pas menjelang matahari terbenam, siapa tahu dapat golden hour yang menakjubkan. Air danau tampak berkurang...