25 September 2022

Nostalgia di Skybridge Semanggi

Ini adalah jalan menuju skybridge (jembatan penghubung) yang menghubungkan halte Bendungan Hilir di koridor 1 ke halte Semanggi di koridor 9. Dulu, demi menghemat biaya, aku gak masalah untuk berjalan melintasi jembatan ini, sambil memandang lalu lintas di bawah dan juga pemandangan sebagian pusat kota Jakarta. Pada masanya, jembatan ini menjadi salah satu jembatan transit terpanjang, meski masih kalah dengan jembatan Dukuh Atas yang saat ini sedang direnovasi.

Secara umum tidak ada yang berubah dari jembatan ini, bentuk dan terutama lantainya masih seperti dulu. Dulu paling sebel kalau harus melintasi tempat ini, melelahkan, apalagi saat panas terik dan membawa tas yang berat, disertai kondisi pikiran yang suntuk sehabis ketemu client. 

Hari ini sih beda, justru aku enjoy jalan di sini, karena tanpa beban apa-apa, malah hitung-hitung olahraga. Di usia seperti sekarang, berjalan kaki saja sudah sangat berguna untuk membantu vitalitas, karena jarangnya kesempatan untuk bisa olahraga.


 Yang agak beda adalah kondisi di sekitar Plaza Semanggi, salah satu mall yang pernah ramai jaman dulu, bahkan sering dianggap sebagai penyebab kemacetan di daerah ini, tak terkecuali di hari Minggu. Sementara sekarang, mungkin karena pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berakhir, sekitar mall ini tampak sepi. Mirip dengan kondisi di Blok-M Mall.

23 September 2022

Air Sungai Meluap di Jumat Malam

Setelah cukup lama hujan beberapa hari, tampak ada genangan air di jalanan kompleks persis pinggir sungai. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan, bukan bagi warga kompleks kami, tapi bagi warga di sebelah utara kami, terutama di Jakarta. Biasanya kalau sungai ini meluap, akan banyak tempat di Jakarta yang tergenang air.

Suasana kemacetan terjadi di pintu tol Pondok Aren karena adanya banjir di jalan tol menuju serpong yang membuat jalur ke Serpong ditutup.

Ini adalah sungai yang sama yang mengalir di samping kompleks kami, tapi ini ada di samping kawasan Menteng Utama Bintaro. Aku perhatikan, di kawasan perumahan ini, ada banyak "bendungan" dibangun. Akibatnya beberapa tempat jadi seperti menggenang, meski gak sampai tumpah ke jalan raya. Tapi lama-lama aku paham, ini adalah upaya mencegah air sungai mengalir terlalu deras ke bawah. Adanya "penghalang" seperti ini, diharapkan debit air tidak terlalu cepat, dan mengalir secara bertahap, jelas mencegah kerusakan yang terjadi di sepanjang sungai, juga bisa mengurangi potensi genangan air (aka banjir) di tempat-tempat yang lebih bawah.


 Wajar kalau pengembang sebesar Jaya Raya memikirkan solusi seperti ini, ditambah lagi beberapa kawasan yang sengaja dikosongkan untuk menampung air. Ini gak akan dilakukan oleh pengembang cluster-cluster kecil, yang hanya mengejar untung karena keterbatasan lahan dan persaingan harga, bahkan sampai menguruk bekas rawa sampai habis dan membuat air hujan ataupun air sungai dari sisi atas akan mengalir terus ke bawah tanpa sempat tertahan sementara.

Kadang aku jengkel dengan orang-orang yang hanya menyalahkan pengembang besar karena membuat banyak rumah, dan dianggap sebagai penyebab banjir, sementara mereka sendiri masih memilih untuk tinggal di rumah tapak, yang kadang kala tanpa mereka sadari dibangun di atas daerah resapan air (rawa, lereng, kebun dsb). Bukan untuk membela pengembang besar, karena mereka juga harus bertanggung jawab saat ada bencana banjir, tapi selama kebanyakan dari kita menolak untuk tinggal di rumah susun/apartemen dan memilih untuk punya rumah tapak, ya sudah, banyak lahan bakal beralih fungsi jadi beton.

18 September 2022

Sekitar Senayan - GBK

Ada yang beda dengan kawasan ini meski aku samar-samar lupa apa yang beda. Dulu sering mondar-mandir lewat sini, terutama waktu masih kerja di Cikarang tapi banyak customer di Jakarta. Setelah punya anak, terutama selama pandemi, sangat jarang lagi ke sini. Terakhir aku ingat sedang ada renovasi, apalagi terkait dengan pembangunan MRT. Akhirnya aku ingat, tempat ini dulu penuh dengan deretan pohon rindang.

Hari ini sepulang gereja aku naik MRT dan turun di halte Istora Mandiri. Jalanan tampak lebih rapi, tapi kosong dan saat cuaca cerah pasti bakal terasa panas. Kalau malam atau sore sih sepertinya nyaman nongkrong di sini.

Sempat lihat "iklan" di medsos soal Hutan Kota GBK, jadi aku penasaran seperti apa, dan apakah bakal bisa buat ngajak anak-anak. Kurang beruntung, tempat ini sedang tutup tanpa alasan yang jelas.


Aku lupa dulu tempat apa ini, sepertinya tempat olahraga, tapi saat ini sudah berubah jadi "hutan kota", yang sepertinya sih tempat komersial untuk acara-acara luar ruangan (outdoor). Saat aku lewat sedang ada acara pernikahan, entah siapa, yang pasti sih orang kaya.


Di depan GBK juga aku lihat ada yang beda, tidak ada lagi patung orang memanah, diganti dengan monumen entah apa itu, agak malas melihat dari dekat.

Tempat ini masih tampak sepi meski masih jadi favorit bagi warga jakarta dan sekitarnya untuk berolahraga.

Entah mengapa, sejauh ini rasanya kurang berminat untuk menjelajah kawasan ini lebih jauh.

Pulangnya naik bis listrik ke arah St. Tanah Abang, bisa bayar pakai emoney dan bis ini mengingatkanku pada bis di Singapore, termasuk interiornya. Cuma video iklan di dalam bis yang diputar berulang-ulang terasa sangat membosankan. Secara umum sih nyaman, apalagi pas lagi sepi dan jalanan lancar.

Melewati kawasan pasar Tanah Abang, aku agak heran melihat ada bangunan bergaya tiongkok ini, sepertinya sih kopitiam. Dulu sering lewat sini tidak pernah ingat ada bangunan ini.


 Dari bis bisa turun langsung di seberang stasiun, tinggal nyeberang biar gak perlu kelamaan mutar dan kena macet. Kawasan sekitar stasiun Tanah Abang juga sudah direvitalisasi, lebih rapi, tapi ya tetap saja semrawut dengan banyaknya pengunjung dari berbagai kalangan dan daerah sekitar Jakarta.

11 September 2022

Blok M - Bintaro naik Transjakarta

Terminal Blok-M yang dulu padat, panas, dan semrawut, sekarang tampak sepi. Selain pengunjung terminal yang berkurang, penataan angkutan umum yang melintas di sini juga berperan kayaknya.

Dulu waktu ibu masih tinggal di Kebayoran Lama, kalau mau pulang pilihan bis adalah nomor 74 (ke Rempoa), 71 (ke Bintaro) atau 70 (ke Joglo). Tapi dari semua jurusan itu, hanya yang ke Rempoa yang pernah aku naikin sampai ujung karena penasaran. Pas pindah rumah ke dekat Bintaro, aku juga enggan naik jurusan 71 karena aku pikir dia gak sampai Bintaro, hanya belok di Veteran. Ternyata salah.

Hari ini aku iseng naik bis yang menggantikan jalur metromini S 071 itu dari terminal Blok M. Untuk memastikan aku tanya dulu ke supirnya, katanya ujungnya adalah masjid Jami. Sekarang jadi bis TJ dengan rute 8E. Memang gak lewat Jl. Veteran dan Jl. Kesehatan, karena dia belok ke arah Pesangrahan. Pantesan saja.

Melihat kondisi bis ini, naik bis kota jadi tidak terlalu kuatir, bahkan saat sepi dan hanya berdua denga supir. Beda dengan jaman dulu - rame cemas, sepi juga cemas. 

Aku turun di perhentian akhir yaitu di samping Masjid Jami Bintaro Sektor 1.  Sayangnya, waktu perjalanan yang cukup lama, karena rutenya berbelok-belok, membuat naik bis ini tidak bisa jadi alternatif utama. Ini saja aku naik di hari Minggu, saat jalanan cukup lancar nyaris tanpa macet, tapi waktu tempuhnya terlalu lama - mungkin lebih sejam. Mending naik bis ke Kebayoran Lama terus ganti naik KRL, lebih cepat dan tidak terlalu melelahkan, kecuali kalau memang ingin jalan-jalan.


 Dari masjid jami tadi aku jalan kaki ke St. Pondok Ranji, lumayan juga 1 km.

06 September 2022

Bocah Cilik - Kucing Penginthil

Kucing ini aku panggil bocah cilik, sejak kecil sudah ada di teras mengikut emaknya. Sering berusaha menyelinap masuk rumah, baik saat pintu depan dibuka, atau kadang lewat loteng atas. 

Saat kami meninggalkan rumah untuk bermain di lapangan, dia masih tidur pulas. Tapi tak lama kemudian dia sudah muncul di lapangan, mengikuti kami.

Ya begitulah, dia hampir selalu mengikuti anak-anak bermain - entah di jalanan, di lapangan atau di mushola. Awalnya, saat dia mengikuti kami di lapangan (yang memang agak jauh dari rumah), dia jadi ragu saat kami dekati, seperti ketemu orang asing. Padahal jelas-jelas dia mengikuti kami, tapi gak mau dipegang. Tapi lama-lama dia semakin terbiasa dan tetap akrab meski sudah jauh dari rumah.


 Tapi kalau dia masuk rumah, aku segera menyuruhnya keluar. Soalnya dia nakal, kadang suka mengambil makanan di meja makan, padahal kucing-kucing di rumah tidak pernah begitu. Ya wajar sih, soalnya dia kan tinggal di luar, jatah makannya terbatas, beda dengan kucing yang ada di rumah. Tapi ya daripada merepotkan, mending aku minta dia tetap di luar rumah dan kami sediakan makan secukupnya.

Sekarang dia bukan lagi kucing kecil, tapi karena malas memberi nama, aku tetap memanggil dia "bocah cilik". Anak-anak kadang menyebutnya dengan Kitty.

03 September 2022

Mampir ke Suryakencana Bogor

Mumpung lewat, sekalian saja mampir ke kawasan Suryakencana, yang aku pikir merupakan kawasan "chinatown" di Bogor. Sering dengar banyak kuliner enak di sini, tapi belum sempat mampir,  hanya beberapa kali lewat. 

Lebih tertarik lagi melihat prasasti berisi informasi tentang revitalisasi kawasan ini, jadi penasaran. Sayangnya pas sampai sini sudah lumayan capek dan tidak banyak waktu, jadi hanya jalan-jalan sepanjang jalan utama saja.

Layaknya kawasan Pecinan pada umumnya, gak akan lengkap tanpa adanya rumah ibadat seperti kelenteng atau vihara.

Nah ini yang cukup menarik, ada peta wisata yang dilukis sebagai mural di salah satu gang, cukup lengkap dengan tempat-tempat yang populer di sini, terutama tempat makan yang terkenal. Bagus sih, tapi kalau ada perubahan tempat, ya bakal repot mengubah mural ini hehehe.

Salah satu gang yang dirapikan, enak buat dilalui dan tentu saja "instagramable", cocoklah bagi penggila selfie. Kapan2 pengen menjelajah tiap gang, sampai ujungnya. Untuk kali ini, lewat saja dulu.

Bingung milih makan apa, akhirnya aku cuma nyobain beli sate di sini, warung yang menempati gang sempit yang entah apakah buntu atau tidak. Agak ragu juga pas beli, jadinya milih beli bungkus. Ada banyak tempat makan lain sebenarnya, tapi ya gak ada teman, agak malas nyoba-nyoba.


 Satu benang merah dari beberapa pecinan yang aku kunjungi adalah lampion. Entah sengaja atau tidak, sepertinya selalu ditampilkan.

Memutari Kebun Raya Bogor

Sekawanan rusa tampak menikmati waktu makan di salah satu sudut Kebun Raya Bogor  (Bogor Botanical Garden). Semula aku pikir dari lokasi kebun ini jaraknya jauh dari Stasiun Bogor. Tapi saat cek di peta, ternyata dekat saja. Jadinya dari stasiun aku tinggal jalan kaki menuju pusat kota Bogor ini.

Kebun ini dikelilingi oleh jalan raya dengan jalur satu arah, berputar searah jarum jam dengan 4 jalan utama yang cukup lebar. Juga ada areal trotoar bagi pejalan kaki. Sayangnya, iya, sayang sekali, jarang ada jembatan penyeberangan padahal laju kendaraan bermotor seringkali ramai. Ada sih JPO, tapi jaraknya jauh dan sedikit. Dari google aku dapatkan total keliling trotoar yang mengelilingi kebun ini adalah 4 km lebih.

Di bagian utara ada 2 jalur pejalan kaki, atas dan bawah. Mungkin karena ada jalur yang menuju kolong di pinggir sungai, yang bisa menjadi sarana buat menyeberang jalan, meski kalau malam agak serem juga lewat terowongan pinggir kali. Jalur pedestrian di seputar kebun ini sangat nyaman, apalagi dengan banyaknya pepohonan lebat yang tinggi, menambah sejuk suasana di kota Bogor yang memang lebih dingin dibanding Jakarta.


Tampak beberapa jembatan taman yang indah di dalam kebun. Sepertinya lain kali harus dijadwalkan untuk menjelajahi dalam kebun.

Nah ini terowongan yang ada di bawah jalan Jalak Harupat, persis di samping sungai Ciliwung, yang tembus dengan taman Kaulinan. Karena waktu terbatas, aku tidak sempat nongkrong di taman itu.

Rombongan emak-emak dan anak-anaknya usai menyeberang dari samping Lippo Plaza, langsung menerobos saja taman di samping taman, padahal jalan yang bagus tidak jauh dari sana. Ya begitulah.

Banyak yang berolahraga di sini, baik sendirian maupun berkelompok seperti ini. Sempat juga lihat satu kelompok dari klub bela diri, entah abis latihan atau sekedar rekreasi.


Monumen Olivia Raffles (istri Thomas Stamford Raffles).

Pemandangan yang cukup unik, di tengah menjamurnya salon dan barbershop (alias tukang cukur), ternyata masih ada yang berprofesi sebagai tukang cukup DPR (di bawah pohon rindang), persis di samping jalan Pajajaran.

Pertigaan yang sering aku lewati kalau ke Bogor, dan selalu tampak padatnya kendaraan di sekitar tugu Kujang ini.

Rupanya inilah pintu masuk utama menuju Kebun Raya Bogor, di sebelah selatan. Sebenarnya di sebelah utara juga aku sempat lihat ada pintu masuk. Di sebelahnya ada museum Zoologi. Nah, aku ingat betul waktu SMP dulu pernah darmawisata ke Bogor, dan hanya mengunjungi museum Zoologi itu, kemudian melewati Puncak Bogor menuju Bandung. Tidak banyak yang bisa aku ingat dari kegiatan piknik jaman SMP dulu. Lagipula seingatku juga di Bogor cuma sebentar, nyaris kayak numpang lewat.

Gereja Zebaoth, yang sepertinya adalah gereja peninggalan Belanda juga, terlihat dari arsitekturnya yang bergaya kolonial.

Ah, ternyata ini pintu masuk menuju istana Bogor. Selama ini aku jarang lewat jalan ini, jadi gak sadar.


 Kalau ini gereja Katedral Bogor, tidak ada dalam kawasan Kebun Raya Bogor, tapi lokasinya gak jauh. 

Perjalanan yang cukup melelahkan, tapi karena udaranya sejuk dengan pemandangan yang bervariatif, lumayan menyegarkan.

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...