27 November 2008

Blue Sky



Langit di atas kota Serang terlihat biru bersih, apalagi di saat udara sedang cerah, berbeda jauh dengan langit yang terlihat di Jakarta. Bahkan langit di atas Cikarang pun masih terlihat kusam, kurang biru.

Dugaanku, ada 2 hal yang membuat langit di daerah ini terlihat lebih biru. Pertama karena polusi udara yang masih sedikit, jauh sekali jika dibanding dengan Jakarta, yang sudah seperti berkabut - bukan kabut air melainkan kabut asap dari berbagai sumber. Cikarangpun memiliki polusi udara yang tidak bisa dibilang sedikit, sebagai kawasan industri.

Dugaan kedua, karena wilayah ini cukup dekat dengan pantai, sekitar 10-20km kalau gak salah. Pantulan air laut mungkin membuat langit tampak lebih cerah .. mungkin.



Alun-alun kota Serang yang terlihat sepi, dengan udara cukup panas di tengah hari. Namun langit yang biru serta pepohonan rindang di sekitarnya membuat udara yang panas tidaklah terlalu menyengat rasanya, masih ada keindahan dan kesegaran yang bisa dinikmati.

26 November 2008

Sightseeing at Masjid Agung Banten



Menara di Masjid Agung Banten (Lama) ini cukup kokoh berdiri, dengan tinggi lebih dari 30 meteran. Meskipun bukan hari raya dan bukan hari libur, namun saat aku ke sana bersama beberapa teman kantor, cukup banyak peziarah yang datang, meskipun tidak sampai berjubel. Jadi kami bisa cukup leluasa menikmati peninggalan sejarah ini.



Sekelompok anak-anak di sekitar lokasi sedang berkumpul, beberap diantaranya baru saja mandi di kolam yang ada di depan masjid. Dasar anak-anak, yang penting bermain-main, gak peduli kalau air kolam kotor dan bau (baunya menyengat sampai ke atas menara).

Yang cukup disayangkan adalah, anak-anak ini meminta-minta kepada setiap pengunjung, dan seringkali tindakannya cukup merepotkan karena mereka seringkali ngotot, mengikuti terus sampai diberi uang. Meskipun di areal masjid itu terpampang spanduk yang melarang memberikan sedekah, tetap saja mereka tidak peduli.




Oleh juru kunci masjid, kami dipersilahkan untuk naik ke menara, dengan biaya seiklasnya. Tangga untuk mendaki ke atas menara berputar dan cukup sempit, hanya cukup untuk satu orang.



Di sepanjang menara terdapat lubang ventilasi seperti ini, sehingga meskipun lorongnya sempit tapi tidak terasa sesak karena pasokan udara cukup lancar.



Dari atas menara, pemandangan kawasan Banten lama terlihat cukup asri, termasuk pantai Serang. Udara pantai berhembus cukup segar di tengah hujan rintik-rintik.





.. gak mau ketinggalan ah ...



Ruangan di dalam menara,yang mungkin dahulu (direncanakan) menjadi tempat mengumandangkan adzan. Deni kusuruh untuk pura-pura bertobat dan berzikir di tempat ini :)



Sebelum pulang, tak lupa berfoto ria di bawah menara. Wah, ternyata kelihatan kecil saja.



Tampak dua orang pengunjung masih asyik menikmati pemandangan dari puncak menara, meskipun hujan rintik-rintik.



Nah, kalau ini sepertinya sisa-sisa peninggalan Kerajaan Banten dulu (bukan orannya, tapi bangunannya). Sayang tidak banyak bangunan yang tersisa, hanya tembok sekelilingnya saja yang masih berdiri, sementara di dalamnya penuh dengan kambing yang berkeliaran mencari makan.

25 November 2008

White flowers on Green Grass



Rumput ini biasa sebenarnya biasa saja, hanya rumput liar saja yang sering justru tampak mengotori lahan kosong di perumahan ataupun pinggir jalan. Akupun gak tahu apa namanya.



Namun jika sedang berbunga, dilihat dari jauh akan tampak hamparan yang cukup indah, hamparan berwarna putih bersih di atas rerumputan yang hijau. Saat musim kemarau, bunga itu tidak memberi warna menarik karena rumput akan tampak layu dan kering, sehingga hanya menambah suasana pucat pasi. Namun saat musim hujan tiba dan rerumputan menghijau, warna putih merata akan memberi kontras yang indah, setidaknya indah buatku.



Sayang sudutnya kurang pas dan langit sedang tidak cerah :(

24 November 2008

Ceiba pentandra



Pohon Kapuk Randu/Kapas Jawa ini aku potret di samping sebuah rumah sakit di kota Serang, Banten. Melihat kapuk randu membuat aku teringat masa kecil. Setidaknya, jaman dulu kapas dari kapuk randu ini masih lazim digunakan untuk mengisi kasur serta bantal-guling. Meski tidak selembut kapas biasa, namun sebagai kasur sudah cukup empuk, meski semakin lama akan semakin mengeras. Sekarang orang lebih banyak menggunakan kasur dari busa.



Selain itu, batang kapuk randu cukup lunak dan waktu kecil aku sering membuat mainan sendiri dari batang kapuk randu. Aku mengukir ranting-ranting pohon ini menjadi miniatur mobil, kapal bahkan tank, ya tentu saja bentuknya sederhana. Menyenangkan rasanya mengingat waktu itu bisa membuat mainan sendiri, cukup menggunakan pisau atau cutter kecil.

21 November 2008

Street Workshop



Di sepanjang jalan Salemba ke arah Senen, banyak sekali yang menawarkan cat deco, las ketok serta press body (yah, entah nulisnya bener atau gak). Katanya sih harganya cukup bersaing dibanding kalau ngerjain di bengkel motor pada umumnya. Pengerjaannya pun sering dilakukan langsung di pinggir jalan, atau di gang-gang yang ada sepanjang jalan tersebut.

19 November 2008

Misty Morning



Hujan deras tadi malam membuat pagi ini cukup berkabut, padahal sudah hampir jam 7. Meski tidak terlalu pekat, namun kabut pagi ini termasuk tidak biasa untuk daerah cikarang yang panas. Biasanya, di atas jam 6 panas mentari sudah sangat terik.

Setelah sekian lama aku jarang menikmati suasana pagi, pagi ini aku sempatkan untuk jalan-jalan sebentar, mumpung masih adem.



Bekicot ini sepertinya juga sedang menikmati sejuknya pagi ini, melangkah dengan tenang dan pelan (lha wong emang gak bisa cepet), merayap di atas dedaunan yang tampak lebih hijau dan segar.



Di musim hujan, dengan kondisi cuaca yang lebih lembab, jamur bisa tumbuh lebih subur. Entah ini tergolong jamur apa, aku juga gak tahu enak atau gak.

15 November 2008

Tjroeng on Festival Toegoe



Tjroeng adalah buletin bulanan yang diterbitkan oleh milis komunitas penikmat keroncong (Keroncong Cyber). Dalam Festival Toegoe kali ini, Tjroeng mendapat stand khusus untuk membagikan buletin secara gratis, termasuk menjual kaos sebagai salah satu sumber dana penerbitan buletin tersebut.

Acara ini juga dimanfaatkan untuk kopdar, temu muka bagi anggota milis keroncong. Meski tidak semua bisa data, namun cukup banyak yang bergabung khususnya anggota dari Jakarta dan Bandung, serta ada satu dari Surabaya menyempatkan diri untuk datang.



Ini Mas Haris, pemimpin redaksi Tjroeng, yang menggunakan nickname Mboets dalam tulisannya.



Dalam festival ini, keroncong cyber diberi kesempatan untuk mengisi acara, dan tentu saja yang dimainkan adalah musik keroncong. Personel yang memainkan keroncong ini berasal dari orkes keroncong yang berbeda-beda, dan karena keterbatasan waktu, tidak sempat ada latihan bagi pementasan kali ini. Jadi bisa dibilang penampilan kali ini adalah penampilan spontanitas, namun hasilnya tetap tidak mengecewakan.

Vokalis yang tampil adalah Maya (Bandung) dan Clara (Jakarta), sedang pemain biola meminjam pemain biola dari Keroncong Toegoe. Mas Adi dan Mas Bambang (Bandung) memainkan bas bethot, sementara mas Puji Heru (Jakarta) memainkan gitar.



Andi (Jakarta) dan Wiwied (Bandung) cukup kompak memainkan cak dan cuk. Dulu aku cuma tahu alat musik ini disebut ukulele. Cuk bersenar 3 (nilon) sementara Cak mirip dengan Cuk, hanya saja bersenar 4 (baja) dimana 2 senar paling atas agak berdekatan dengan suara lebih melengking (CMIIW :D). Kedua alat ini jelas tidak bisa dihilangkan dari irama keroncong, karena jelas-jelas membentuk irama tersendiri yang menjadi ciri khas keroncong.



Ini Clara waktu menyanyikan lagu Mawar Biru. Dalam sebuah posting di milis, dia bercerita kalau dia pernah mengikuti audisi Indonesian Idol di Jakarta atas desakan dari rekan-rekan kerjanya. Meski memiliki suara yang bagus, dia tidak berhasil lolos babak pertama audisi itu, karena satu alasan : dia membawakan lagu keroncong :)). Serta merta rekan-rekannya yang mendukung dia audisi merasa kecewa berat. Salut buat kesetiaannya pada keroncong!!



Pak Win datang agak terlambat membawa spanduk panjang tentang keterlibatan Tjroeng dalam festival ini. Rencananya di spanduk ini, setiap anggota milis akan membubuhkan tanda tangan, sebagai simbol semangat untuk melestarikan budaya Keroncong, yang seharusnya adalah budaya asli bangsa Indonesia.



Merasa tak puas hanya tampil dengan membawakan 2 lagu di panggung, selesai acara, komunitas keroncong cyber berkumpul bersama untuk berkeroncong ria dengan meminjam perlengkapan keroncong dari Keroncong Toegoe. Yang nyanyi ya sesama anggota, dengan pilihan lagu spontan. Cukup meriah dan benar-benar bisa membangun keakraban.



Tak lupa berfoto bersama di pelataran gereja Toegoe sambil membawa spanduk.
Ayo, gabung dengan komunitas keroncong di http://launch.groups.yahoo.com/group/keroncong/

Festival Kampoeng Toegoe



Tanggal 15 November ini, komunitas Tugu di Jakarta Utara mengadakan Festival Kampoeng Toegoe di kompleks gereja Tugu yang menjadi salah satu cagar budaya karena sudah berusia lebih dari 200 tahun.

Acara yang ingin melestarikan budaya tugu serta menjalin keakraban antara 4 negara ini rencananya akan diadakan di Grand Indonesia, namun pihak pemkot Jakarta Utara menolak dan meminta acara diadakan di kawasan Jakarta Utara.



Seorang anak nampak duduk bengong sendirian di samping gereja. Gereja tugu kabarnya dibangun oleh Belanda setelah komunitas tugu (yang merupakan keturunan Portugis) berpindah ke agama Protestan. Seperti halnya gereja-gereja di Eropa, di sebelah gereja ini ada areal pemakaman.



Sekelompok anak SD turut memeriahkan festival kali ini, dengan membawa beraneka bendera dari keempat negara, menyambut tamu dari negara-negara yang diundang.



Duta besar dari Mozambik dan Portugal memasuki kompleks festival. Selain itu hadir juga perwakilan dari Timor Leste dan Brazil. Keempat negara tersebut sama-sama memiliki budaya yang berakar dari Portugal, dan baru-baru ini mereka bekerja sama juga mendirikan taman bacaan yang juga berada di dalam kompleks gereja Tugu.



Beberapa foto yang dipamerkan dalam festival ini, menceritakan tentang kehidupan di kampung tugu, serta sejarah singkat tentang komunitas tugu yang selain ada di Jakarta juga tersebar di berbagai negara.



Beberapa wartawan dan fotografer sedang bersiap-siap meliput acara. Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik tak mau ketinggalan meliput acara yang melibatkan 5 negara ini.



Tarian yang merupakan gabungan budaya Betawi dan Portugal menjadi pembuka acara festival ini, yang dimulai sekitar pukul 10 pagi. Tarian ini, aku lupa namanya, menggunakan irama khas betawi seperti irama gambang kromong namun tariannya serta kostumnya seperti tarian tradisional Portugal. Cukup unik juga.



Sang primadona dari kelompok Keroncong Tugu Junior, Angela Michiels, tersenyum manis sebelum membawakan lagu-lagu dalam irama khas keroncong tugu. Meski baru berusia 7 tahun, namun dia bernyanyi dengan cukup meyakinkan, membawakan lagu berbahasa Portugis dan berbahasa Indonesia.



Tim keroncong tugu junior yang berusia dari 7 hingga 17 tahun ini memainkan irama keroncong dengan cukup lancar. Keberadaan mereka memastikan bahwa budaya keroncong, khususnya keroncong tugu tidak akan punah. Mereka mungkin akan menjadi penerus generasi ke 12 dari keroncong tugu.



Kelima gadis ini bergabung dalam vokal grup (ah, lagi-lagi aku gak sempat mengingat namanya, bahasanya cukup aneh) yang khusus menyanyikan lagu-lagu berbahasa Portugis. Rupanya di kampung tugu ada seorang guru bahasa Portugis yang ditugaskan langsung oleh kedutaan besar Portugal, kalau gak salah namanya Maria.



Perwakilan dari Dinas Kebudayaan Jakarta Utara menyerahkan seperangkat peralatan musik keroncong ke perwakilan keroncong tugu junior, sebagai tanda dukungan pemerintah daerah dalam melestarikan budaya keroncong. Sayangnya, komunitas tugu sendiri sudah memiliki perlengkapan keroncong yang cukup lengkap sehingga mereka berniat menghibahkan peralatan itu ke grup keroncong lain, namun belum mendapat informasi tentang adanya grup keroncong di Jakarta Timur yang membutuhkannya.



Selain juru potret dari berbagai media massa, ada juga dari kalangan militer seperti bapak satu ini, entah apakah untuk dokumentasi pribadi atau untuk keperluan instansi. Yang jelas kuperhatikan sejak awal acara beliau sangat aktif mengabadikan momen-momen yang ada dengan kamera digitalnya.



Perwakilan dari keempat negara berfoto bersama dengan perwakilan dari pemkot Jakarta Utara setelah menerima kenang-kenangan dari panitia festival. Sebelumnya, masing-masing perwakilan dari negara tetangga itu menyampaikan kata-kata sambutan yang isinya .... jangan tanya deh, jarang ada yang memperhatikan kata-kata sambutan dari pejabat :))



Bas bethot, aku cuma ngerti istilah itu. Katanya sih nama kerennya cello, yang dalam musik keroncong dimainkan dengan cara dibethot, bukan digesek. Bunyi bas bethot ini juga yang menjadi bunyi khas dari musik keroncong.

Yang cukup unik dari keroncong tugu adalah adanya bas elektrik,yang mungkin tidak ditemui orkes keroncong pada umumnya. Selain itu, keroncong tugu memiliki lagu-lagu yang iramanya lebih ceria, mungkin pengaruh dari budaya portugis dan betawi. Ada satu lagu, Kr. Tugu, yang iramanya mirip dengan Kr. Kemayoran. Dengan irama keroncong yang cukup ceria dan meriah, mendengarkan keroncong tugu tidak akan membuat kita terkantuk-kantuk, malah bisa sambil bergoyang. Pokoknya, keroncong tidak selalu identik dengan ngantuk, percaya deh!



Pak Munifa, datang langsung dari Surabaya demi mengikuti acara ini. Salut juga dengan dedikasi beliau, bahkan beliau mengabadian setiap momen dengan cukup detail melalui kameranya, dan hasilnya setelah diedit dibagikan secara cuma-cuma ke rekan-rekan yang ikut hadir dalam acara itu.



Bung Andre, pimpinan Ikatan Keluarga Besar Tugu dan merupakan generasi ke-11, sedang diwawancarai wartawan. Saat itu dia cukup sibuk karena menjadi panitia festival, namun masih sempat juga menyanyikan beberapa lagu andalan keroncong tugu.



Sebagai perwakilan budaya Brazil, tampil grup capoiera yang dipimpin oleh Prof. Mola. Penampilan seni beladiri yang juga mirip gerakan-gerakan breakdance ini cukup menarik meskipun sempat terganggu dengan kurang lancarnya musik yang dimainkan, sepertinya CD musik yang digunakan mengalami kerusakan. Memang, pertunjukan capoiera tanpa musik yang sesuai akan menjadi sedikit hambar.



Sementara yang satu ini adalah tarian tradisional dari Timor Leste.



Taman Surapati Chambers ikut berpartisipasi dalam acara ini, berkolaborasi dengan keroncong tugu. Suatu kolaborasi yang luar biasa, meski tidak megah, namun bisa memberi gambaran tentang kolaborasi musik keroncong dengan orkestra.



Pelataran depan gereja tugu menjadi tempat favorit pagi pengunjung maupun peserta festival untuk berfoto bersama, seperti halnya kontingen dari Timor Leste yang menyempatkan diri berfoto bersama duta besar negara tersebut.

Lebih banyak foto tentang festival ini bisa dilihat di : http://yudik.multiply.com/photos/album/5

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...