16 October 2018

Ke Jakarta Aku Kembali


Baru kali ini aku benar-benar merasa ingin segera meninggalkan Jogja dan kembali ke Jakarta. Selain karena tanggung jawab keluarga, rindu dengan duo bos kecil, juga karena suasana di Jogja (lebih tepatnya di rumah dalam masa berduka) memang kurang menyenangkan. Alasan yang cukup egois sebenarnya.


Semalam aku beli tiket pesawat dari Jogja ke Jakarta lumayan mendadak,dan sempat gagal. Untung pagi harinya aku segera sadar kalau pesanan tiketku dibatalkan dan segera mencari pengganti. Untunglah masih dapat tiket meskipun berangkatnya agak siang dan bukan tiket paling murah. Ya sekali-kali naik Citilink.


Aku berharap bisa melihat gunung Merapi saat lepas landas dari Bandara Adisutjipto ini, dan hampir terwujud karena pesawat berangkat ke arah timur terlebih dulu. Sayangnya meski cuaca cerah, tapi gunung itu tertutup awan. Lagipula aku tidak duduk pas di pinggir jendela, jadi susah juga memotretnya. Tapi pemandangan waktu pesawat berbelok lumayan menarik, bisa menangkap sebagian landskap kota Jogja dari udara.


Sepanjang perjalanan cuaca cerah, langit biru dengan sesekali gumpalan awan putih.

Sampai di Jakarta naik bis Damri biar irit, turun di Lebak Bulus sudah menjelang maghrib. Dari situ naik Go-Jek saja biar lancar, apalagi ini jam sibuk saat orang-orang pulang kerja.

15 October 2018

Bersama Keluarga Simak


Mumpung lagi di Jogja, aku sempatkan untuk mampir ke rumah Simak di Gendeng, Gondokusuman, Jogja. Simak adalah kakak dari ibuku, jadi seharusnya aku memanggil budhe, tapi panggilan Simak sudah begitu melekat di keluarga.


Kondisi Simak sempat merosot karena terkena stroke akibat tekanan darah tinggi yang dimilikinya. Jadi sempat mengalami semacam amnesia, tapi setelah terapi sekarang sudah membaik. Sudah mulai bisa mengingat nama-nama saudara, dan juga bisa bicara meskipun tidak lagi secerewet dahulu.


Ini waktu makan-makan bareng Mas Yanto dan Mbak Retno, kedua anak bungsu Simak di RM Murah-Meriah, seusai pemakaman. Acara seperti ini lumayan bisa menjadi ajang reuni keluarga, mengingat masing-masing punya kesibukan dan tinggal terpencar-pencar.

Selamat jalan, mbah Uti


Meski namanya Sutarti, tapi kami dulu lebih mengenalnya sebagai mbak Tarti atau mbak Tik. Belakangan, pihak keluarga lebih sering memanggil beliau dengan sebutan Uti atau mbah Uti, - sementara bapakku dipanggil mbah Kakung. Beliau adalah ibu tiriku, yang sudah ikut merawatku sejak aku berumur sekitar 10 tahun.

Kemarin beliau meninggal, setelah menderita sakit kurang dari sebulan. Cukup mendadak, tapi langsung parah dan kondisi fisiknya menurun cukup drastis.


Aku cukup kaget juga karena ada teman-teman SMP yang ikut melayat, salah satunya Tuti Maryatun (yang suaminya kebetulan juga teman sekolah kakakku). Adanya silaturahmi di media sosial cukup berperan dalam memberitakan informasi ini. Aku sendiri sengaja tidak mengirim kabar ini ke linimasaku, tapi ternyata ada teman yang tahu dan menyampaikan ke group alumni. Lebih terkejut lagi saat ada karangan bunga dari keluarga KATY'96 yang disampaikan oleh mas Sengut yang rumahnya memang tidak terlalu jauh dari lokasi.


Karena aku jarang pulang kampung, banyak wajah-wajah yang datang melayat yang tidak aku kenal. Aku masih ingat beberapa nama saudara dekat (dan beberapa tetangga), tapi sebagian besar sudah tidak dapat kukenali. Bahkan ada saudara dari Surabaya yang waktu kecil sering main bersama, aku baru menyadari mereka saat mereka sudah hampir pulang.





Beliau dimakamkan di pemakaman desa tidak jauh dari rumah, di samping orang tua dan saudara-saudara yang lain. Aku sendiri malah sudah lupa lokasi pemakaman kampung itu, jadi sempat kaget karena lokasinya sebenarnya tidak jauh dari jalan raya.

Mengikuti iring-iringan jenasah ini membuatku teringat saat kecil dulu sering ikut mengantar jenasah ke pemakaman bersama teman-teman kecil, bukan karena bela sungkawa, tapi karena ingin mengambil uang receh  yang disebar sepanjang jalan. Dulu pecahannya hanya 5 atau 10 rupiah, kalau beruntung bisa dapat 25 rupiah, tapi sudah sangat senang. Entah apakah tradisi menyebar uang receh ini masih dilakukan atau tidak, tapi yang jelas tidak ada lagi rombongan anak-anak kecil yang tampak mengikuti iringan jenasah.


Ada sedikit keunikan dari pemakaman mbah Uti ini. Atas informasi pihak keluarganya (yang selama ini merawat beliau saat sakit), katanya beliau ingin dimakamkan secara Islam, agar ada yang "nyelametin". Padahal sudah sejak tiga hari sebelum kepergiannya, mbah Uti sudah sulit berkomunikasi. Pihak keluarga kami tidak masalah, toh bagi kami cara pemakaman bukan hal yang utama, yang penting adalah saat beliau masih hidup.

Sebenarnya sekitar setahun sebelumnya, mbah Uti sudah memberi diri untuk dibaptis, dan pembaptisan dilakukan di GKJ. Waktu itu baik mbah Kakung maupun mbah Uti masih sehat. Makanya malam sebelumnya dari pihak gereja tetap mengadakan ibadah untuk melepas kepergian mbah Uti.

Selamat jalan, mbah Uti. Terima kasih untuk semua yang telah dilakukan selama ini.

Pagi Yang Biasa


Sekelompok burung pipit bertengger di kabel listrik yang membentang di areal persawahan, sepertinya menunggu kesempatan untuk mencari makan di sawah yang sudah hampir siap panen, tapi sedang ditunggu oleh petani.



Berniat menikmati cemlan yang aku beli di Pasar Denggung, tampak seekor kucing sedang bermain dengan tikus kecil. Tampaknya sih dia tidak berniat menjadikannya sebagai santapan, hanya sebagai mainan - meski akhirnya tetap saja tikus kecil itu mati juga.


Pagi ini cerah, meskipun semalam tidur cukup larut, tapi aku bisa bangun pagi karena kondisi rumah memang sedang sibuk. Mumpung belum terlalu ramai, aku putuskan jalan-jalan sebentar menikmati sejuknya udara di kaki Gunung Merapi ini.


Sungai tempat bermain di masa kecilku dulu, sudah berubah tapi tidak terlalu drastis, masih ada sisa-sisa yang bisa dikenang. Setidaknya sekitar sungai belum berubah fungsi menjadi bangunan beton. Btw, sungai diberi sekat-sekat seperti bendungan, entah untuk tujuan apa. Yang jelas di sini dulu kami sering berenang karena sungainya cukup dalam, apalagi untuk ukuran anak-anak sekolah dasar.

Sekarang sudah jarang terlihat ada yang memanfaatkan sungai ini untuk mandi atau mencuci. Di seberang jalan dari sungai ini, areal persawahan sudah diuruk dan dijadikan deretan ruko.

14 October 2018

Mendarat di Jogja


Malam-malam mendadak sudah ada di Jogja, karena pagi ini mendapat kabar duka meninggalnya Eyang Uti (ibu tiri) karena sakit. Cukup mengejutkan mengingat beliau baru sakit sekitar 1-2 minggu, tapi memang kondisi terakhir sudah cukup drop.


Karena tiba di Jogja sudah jam 9 malam, ternyata itu jam terakhir beroperasinya bis TransJogja, aku pikir jam 10 seperti di Jakarta. Berbeda dengan TransJakarta, yang bis terakhir pasti berhenti di perhentian terakhir (sesuai jalur), di Jogja kalau sudah jam 9, bis akan selesai sesuai penumpang terakhir, biasanya tidak sampai penuh. Makanya kali ini aku berhenti di daerah Condong Catur, dan melanjutkan perjalanan pulang dengan Go-Jek, lumayan menghemat daripada harus naik langsung dari bandara.

08 October 2018

Dua Anjing Di Pinggir Jalan


Dua ekor anjing tampak bermain di pinggir jalan, dekat Bintaro Exchange Mall, entah apakah mereka sepasang atau tidak, yang jelas tampak akrab. Tidak tampak pemiliknya, dan mereka juga tidak mengenakan kalung / tali kekang.


Kedua anjing ini juga tampak jinak, dan tidak tampak kelaparan. Mereka tampak senang bermain, mondar-mandir di pinggir jalan, seperti tidak peduli dengan pengguna jalan yang melintas.


Semoga saja kedua anjing ini ada pemiliknya dan baik-baik saja.

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...