31 January 2015

Festival Paduan Suara ITB 2015


Nah, sebenarnya tujuan utama kunjunganku ke Bandung di akhir pekan ini adalah buat nonton lomba paduan suara di ITB. Kebetulan keponakanku yang ada di Semarang ikutan untuk kategori B, yang setingkat dengan sekolah menengah pertama (SMP). Kakakku sempat nelpon kira-kira aku bisa mendampingi atau tidak, soalnya mereka belum tentu bisa cuti. Ya udah, sekalian aja refreshing, mumpung dah agak lama gak ke Bandung.

Hampir 6 tahun aku kuliah di sini, belum pernah sekalipun aku nonton lomba seperti ini, apalagi kalau pakai acara bayar segala. Baru kali ini aku beli tiket pertunjukan di ITB, langsung aja beli yang VIP toh selisih harga "hanya" 20 ribu.


Ini sebagian dari peserta lomba paduan suara tingkat SMA. Rupanya untuk tampil di lomba ini kostum juga mendapat perhatian khusus. Meski yang dilombakan adalah suara, tapi gak bisa pakai kostum sembarangan. Entah apakah kostum juga masuk ke salah satu penilaian atau tidak.


Nah kalau yang ini kostum dari beberapa peserta tingkat SMP yang sempat aku jumpai. Aku paling suka yang kostum batik dengan kombinasi ungu itu, tampak menarik. Kostum biru yang dipakai oleh sekolahan keponakanku juga lumayan bagus, juga dengan ada nuansa batik di bajunya. Keren lah.


Ini adalah penampilan dari keponakanku, tim sekolah Domsav Semarang. Mereka membawakan lagu Bunda (wajib), Musica Dei (pilihan wajib) dan Katoba Asobi Uta (pilihan bebas). Lagu terakhir itu katanya berkisah soal mabok sake, dalam bahasa Jepang tentunya. Agak aneh mendengar lagunya meskipun menarik.


Ternyata kakakku bisa cuti hari ini, dan menyusul ke Bandung untuk nonton penampilan anaknya, meskipun pulak, datang pagi, sorenya langsung cabut pulang. Selesai pertandingan Ester sempat terjatuh dan kakinya agak terkilir. Setidaknya perjuangannya berlatih berbulan-bulan tidaklah sia-sia, penampilannya bagus, dan dia bisa jalan-jalan di Bandung bersama teman-temannya.

Hasil akhirnya, tim Domsav jadi juara 1 kategori B. Selamat ya, Ester!

Napak Tilas : Kanayakan - Bukit Ligar


Pagi ini langit di atas kota Bandung sangat cerah, cocok buat jalan-jalan. Berhubung pagi ini gak ada acara apa-apa dan aku juga sendirian di sini, aku putuskan untuk napak tilas jalan kaki dari Dago ke Bukit Ligar. Jaman kuliah dulu, aku sering jalan kaki lewat jalur itu untuk pulang-pergi ke kampus, buat menghemat ongkos. Seingatku kurang lebih selama 4 tahun aku tinggal di salah satu rumah di Bukit Ligar.


Sebelum mulai perjalanan, isi bahan bakar dulu. Sarapan dengan makanan yang dulu sering aku nikmati waktu di Bandung - kupat tahu. Hanya saja kupat tahu di Jawa Barat ini beda dengan yang sering aku nikmati waktu kecil di Jogja. Kalau di sini kupat tahu isinya tauge dengan bumbu kacang (selain kupat+tahu tentunya). Sementara kalau di Jogja kupat tahu ada kuahnya, bening dan manis gula jawa, seger lah. Tapi aku suka dua-duanya. Harga masih 8000 per porsi, beli di pinggir jalan.

Aku berangkat melewati jalan Kanayakan, lewat depan kampus Polban dan melintas perumahan elit. Di ujung kompleks itu ada jalan tembus ke Cigadung, meskipun jalannya hanya cukup untuk kendaraan roda dua. Dulu aku menemukan jalan tembus itu secara tak sengaja, iseng saja, apalagi dulu belum ada google maps ataupun smartphone.


Dari jalan Cigadung, aku langsung masuk ke kompleks dosen Unpad dan cari jalan pintas melewati lembah dan sawah-sawah. Rumah yang ada di atas itu dulu pernah dikontrak oleh pendetaku dan aku serng datang juga karena ada acara yang diadakan di situ.

Pernah suatu malam waktu aku hendak datang ke rumahnya, di ujung jalan itu, ada kelompok pemuda menghadangku dan menyerang tanpa alasan. Aku sendiri gak tahu alasannya. Yang jelas waktu itu ada sekitar 3 orang. Awalnya mereka cuma duduk-duduk, dan waktu aku lewat, mereka langsung marah-marah dan menyerangku. Aku sih gak meladeni, cuma menghindar dan segera lari ke rumah ini. Untung mereka berhenti mengejar waktu melihatku masuk ke rumah pendetaku itu. Aku sengaja gak cerita apa-apa ke teman-teman waktu itu. Pas aku kembali, aku datangi lagi mereka baik-baik, mencoba berdamai dan mencari penjelasan mengapa mereka menyerangku. Aneh-aneh saja, kayaknya sih para pengangguran lagi mabuk saja. Setelah itu gak ada kejadian aneh lagi.


Jalanan yang aku lewati cuma kecil saja seperti ini. Seingatku sejak belasan tahun lalu, tidak ada banyak perubahan, kecuali mungkin jumlah rumah dan penduduk yang bertambah. Herannya meskipun jalan sempit ini, ada aja yang punya mobil di daerah ini. Padahal jalan pas hanya untuk satu mobil, gak kebayang kalau sempat berpapasan mobil, pasti repot. OH ya, daerah ini juga banyak kuburan tanpa pagar atau pembatas, jadi persis di pinggir jalan aja. Dulu waktu sering melintas malam-malam, aku sering tidak menyadari hal itu. Baru sadar setelah aku jalan di siang hari, tapi karena sudah biasa ya jadi santai saja.


Masih ada sawah di sekitar sini, tapi jumlahnya sudah sangat sedikit, tergusur oleh pemukiman warga. Yang membuatku heran, di pelosok bukit, kok ya ada saja yang membangun gedung tinggi bertingkat banyak layaknya apartemen. Ah biarlah, moga saja tidak ada bencana yang disebabkan oleh gedung-gedung itu.


Rumput liar di tanah kosong ini tampak menarik. Warnanya juga unik, tidak hanya putih. Yang aku perhatikan, perumahan-perumahan baru mulai dibangun di sekitar bukit Ligar ini. Lalu tempat yang dulu dijadikan arena off-road juga sudah tidak dipakai lagi. Padahal seingatku di situ dulu ada jalan pintas, yang waktu aku cari-cari gak ketemu lagi. Jadinya aku harus agak memutar untuk mencari jalan lain.


Ah ... sampai juga ke Bukit Ligar, dan bisa menikmati pemandangan kota Bandung. Dulu aku bisa menikmati pemandangan ini setiap hari, bahkan setiap bangun tidur sudah langsung bisa menikmati tanpa halangan karena rumah yang kutinggali ada di atas bukit dan tidak ada bangunan lain yang menghalangi. Rumah itu sekarang sudah dibeli orang lain dan direnovasi cukup bagus. Jalanan di sekitar Bukit Ligar juga sudah bagus, diaspal halus. Beda jauh dengan waktu aku masih tinggal di sini, jalanan lebih mirip sungai kering karena aspal sudah bolong-bolong dan batu kerikil berserakan dimana-mana. Perjalananku pulang naik angkot ke Dago, lancar dan mulus, dengan tarif 4000.


Dua ekor anjing ini, sebenarnya ada tiga, tapi yang satunya langsung mundur waktu aku coba mendekat, menggonggong terus waktu aku lewat. Heran, padahal aku cuma lewat, gak ngapa-ngapain. Apa mereka mencium bau kucing di tubuhku yang membuat mereka jengkel? Melihat pagar itu agak sempat, aku mendekat saja sekalian hehehe...

Perjalanan yang cukup menyenangkan, meskipun melelahkan dan hanya sendirian.


Pengalaman Menginap di Garden Hostel


Ini pertama kalinya aku menginap di sebuah hostel sendiri, gaya backpacker-an yang kamarnya model kayak barak gitu, satu kamar ada banyak tempat tidur dan kamar mandi dipakai rame-rame. Alasannya simple, nyari yang murah karena toh liburan kali ini aku cuma sendiri. Kalau bareng keluarga yang mending sewa kamar yang lebih keren. Aku iseng nyari hotel di Traveloka dan Garden Hostels ini jadi pilihanku.


Seperti kebanyakan hotel atau rumah di Bandung, hostel ini penuh dengan taman dengan berbagai bunga yang indah, seperti bunga Anggrek ini. Selain itu juga ada pohon rambutan yang sudah berbuah, sayangnya mau minta kok malu :) Yang jelas suasana di dalam hostel ini asri dan nyaman. Untuk istirahat dan sekedar nongkrong juga nyaman. Suasana Bandung yang adem benar-benar terasa.



Alasan utama aku memilih tempat ini, selain karena harga, juga karena lokasinya yang strategis menurutku. Di jalan Dago dengan akses angkot 24 jam, sekitar 500 meter dari Pasar Simpang Dago, dan persis di pinggir jalan. Jadi kalau gak bawa kendaraan pribadi, gak perlu kuatir harus jalan jauh, karena turun dari angkot sudah sampai dan tinggal masuk ke dalam 50 meteran dah sampai front office. Pas check-in dapat pelayanan yang ramah, petugas kamarnya juga ramah. Sejauh ini aku tidak punya keluhan dengan palayanan petugas.

Oh ya, waktu aku nginep di sana pas lagi kosong. Cuma ada 2 tamu yang menginap, satu lagi orang Belanda namanya Nikko, seorang traveler yang ramah.


Salah satu fasilitas unggulan di sini adalah kolam renang. Aku sih gak niat berenang, soalnya gak bawa cukup celana buat ganti. Lagipula renang sendirian kayaknya kurang asyik. Kolam renangnya lumayan, waktu aku datang pagi itu ada petugas yang sedang membersihkan kolam ini. Masalahnya, aku menjumpai banyak kodok berkeliaran, bahkan ada yang sempat ikut nyemplung ke dalam kolam. Waduh, aku yang gak masalah sama kodok saja agak risih, apalagi yang fobia lihat makhluk itu. Katanya sih karena dekat dengan sawah, jadi kodok-kodok dari sawah suka ikut bermain ke dalam hostel.


Inilah sawah yang dimaksud itu, persis ada di samping sebelah utara dari hotel. Sawah yang masih bertahan, di tengah himpitan padatnya perumahan. Sebenarnya ini adalah selingan pemandangan yang menarik. Jadi bukan berasa di tengah kota, tapi berasa di sawah, jadinya kesan liburan itu benar-benar ada. Andai saja background perumahan itu bisa diganti dengan hamparan pegunungan, pasti lebih ciamik.


Ada juga disediakan mushola yang cukup lega, dengan bangunan panggung yang menarik. Pokoknya cocok banget buat tiduran beribadah.


Overall sih aku suka tempat ini, recommended dan besar kemungkinan untuk datang kembali. Tapi bukan berarti tanpa keluhan. Setidaknya ada empat keluhan utama yang aku rasakan di sini.

Pertama, ya masalah kolam renang tadi. Sepertinya pihak manajemen perlu kerja keras lebih lagi untuk memastikan kolam renangnya bersih, terawat dan bebas kodok hehehe.
Kedua, soal sarapan. Ada harga ada rupa, jadi terkesan minimalis. Tapi buatku sih gak terlalu masalah, karena toh aku tidak berniat sarapan di hotel. Sengaja aku ingin sarapan di pinggir jalan, nostalgia waktu jaman kuliah di sini, menikmati makanan khas di sini yang agak jarang ditemui di Jakarta.

Ketiga, masalah terbesar adalah kondisi kamar mandi. Gantungan bajunya minim, belum lagi kamar mandi sangat kecil. Udah gitu untuk toiletnya gak ada kunci, jadi pintu harus dipegangin kalau gak mau ada yang mendadak membuka pintu waktu kita lagi ngeden. Masalah yang  paling mengganggu adalah bau gas. Bau gas ini bahkan sampai masuk ke kamar dan selain mengganggu juga agak meresahkan. Waktu aku sampaikan keluhan ini ke petugas, dia bilang itu biasa saja, gak masalah. Tapi kayaknya karena terlalu banyak yang protes, pihak manajemen harus mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah itu.

Terakhir adalah soal pembagian kamar. Terus terang aku merasa "diusir" secara halus, padahal kan harusnya jadwal check-out jam 12. Pagi itu aku jalan-jalan dulu sampai sekitar jam 10 lebih. Pas sampai di hostel, aku buang hajat dulu. Betapa kagetnya waktu tiba-tiba di luar kamar mandi ada suara ibu-ibu berisik. Langsung aku pegang gagang pintu kuat-kuat, sambil membuat suara-suara sekenanya untuk ngasih tahu kalau ada orang di dalam. Benar juga, mendadak seseorang mencoba membuka pintu. Untuk aku sudah sigap, barulah mereka sadar ada cowo ganteng yang lagi ngeden di toilet. Lah, bukannya ini harusnya kamar laki-laki? Entahlah. Yang jelas rombongan ibu-ibu itu check-in lebih awal dan langsung ditempatkan di kamar yang aku pakai, mungkin karena waktu itu kosong. Untung aja aku lagi gak bugil mondar-mandir di kamar mandi karena merasa kamar sedang kosong.

Ya sudah, segera saja aku beres-beres dan beranjak pergi untuk nonton lomba paduan suara di ITB.

30 January 2015

Napak Tilas : Kampus ITB


Weekend ini aku pergi ke Bandung sendirian untuk menghadiri lomba paduan suara yang diikuti oleh ponakanku dari Semarang. Sekalian refreshing juga. Berangkat pagi hari dengan travel XTrans dari BTC Bintaro, dapat jadwal yang jam 7.30 dan masih kosong. Suasana BTC pagi ini juga masih sepi sekali.

Meskipun sudah berangkat agak pagi, tetap saja perjalanan tersendat di sepanjang jalan tol dari Lebak Bulus hingga Cikarang. Payah juga. Sempat tertidur saat kendaraan berjalan merayap, eh pas bangun di Cikarang sudah jam 9.30 ... busyet, dua jam baru sampai sini.


Sampai Bandung jam 10 lebih, untunglah tadi sempat sarapan cemilan di pasar modern. Jadi perut gak terlalu kosong pagi ini. Turun di daerah Cihampelas, aku memutuskan untuk jalan kaki saja menuju Balubur, melewati jalan Pelesiran. Jalan ini dulu sering aku lewati saat masih kuliah, karena aku sempat kos selama setahun di daerah Kebon Bibit, dan sempat bergereja di daerah Cihampelas. Lagipula kalau naik angkot juga gak ada yang sekali, itupun bakal kena macet juga meski kalau jam segini gak terlalu parah. Toh niatku pengen nostalgia juga. Sempat mampir di Taman Film yang ada di bawah jembatan Paspati, tapi bukannya pertunjukan film, yang ada justru anak-anak main futsal :)


Sampai ITB, salah satu makanan yang aku cari adalah lumpia basah khas Semarang. Herannya, selama di Semarang aku justru jarang sekali makan makanan ini. Malah bisa dibilang aku makan makanan ini kalau pas di sekitar ITB saja. Makanan yang sederhana, hanya touge, rebung manis dan telur ditumis, terus dibungkus dengan kulit lumpia dlapisi adonan seperti lem yang manis dan gurih. Tapi ini salah satu makanan favoritku, jadi gak masalah meskipun harus antri bersama para mahasiswa/i. Harga saat itu masih 7000 rupiah per bungkus.


Selesai menikmati lumpia basah, aku iseng muter-muter kampus sebentar tanpa tujuan yang jelas. Ini adalah salah satu kantin di jurusanku, yang waktu aku kuliah kantin ini disebut sebagai kantin borju. Alasannya, hanya orang-orang borju (alias berduit) yang mampu beli di sini, karena jenis menunya serta (yang utama) harganya yang kurang ramah bagi kalangan mahasiswa kampung kayak aku. Jadi selama kuliah 6 tahun di sini, tidak pernah sekalipun aku makan di tempat ini, bahkan untuk sekedar beli minumpun gak pernah. Selain karena minder, takut gak paham dengan makanan yang dijual, juga karena takut jatah makan seminggu habis buat makan di sini hehehe... Pas kemarin sempat nengok daftar harga, kok rasanya biasanya aja, gak semahal makanan di fastfood pada umumnya :-? Entah sudah berubah atau memang sejak dulu harganya gitu, aku kurang paham.


Beberapa orang antri di ATM BNI dekat aula barat. Seingatku dari dulu ATM ini cukup favorit. Mungkin karena kalangan akademisi kebanyakan punya rekening BNI. Tapi kalau dulu, tempat ini cukup favorit karena masih menyediakan pecahan 20 ribuan, sementara ATM lain umunya berisi pecahan 50 atau 100 ribuan. Aku belum sempat ngecek nominal pecahan mata uang yang tersedia di ATM itu sekarang. Cuma aku tertarik karena antriannya yang agak banyak tapi renggang, sehingga meski terkesan menutup jalan, tapi orang masih bisa menyusup kalau sekedar mau lewat.

Awalnya aku ingin sambil kerja di kampus ini, sayangnya sinyal XL di sini kayak gak stabil dan beberapa tempat malah suka ilang. Jadi aku putuskan untuk ke hotel saja, sapa tahu dapat wifi gratisan yang bagus.

29 January 2015

Siluet Senja di Situ Bungur


Hujan deras di sore hari tadi masih menyisakan awan mendung di langit. Namun menjelang maghrib, suasana masih tampak cerah, menandakan matahari sore di ufuk barat masih punya celah untuk mengirimkan sinarnya. Ini juga berarti akan ada sunset moment yang indah, dan tempat terdekat paling menarik untuk menikmati peristiwa ini adalah di Situ Bungur.


Seekor kucing tampak sedang bersantai di tepi danau. Waktu aku mendekat, dia sempat waspada, tapi tidak berlangsung lama. Sepertinya dia jenis kucing yang akrab dengan manusia, dan ketika aku panggil, dia segera membalas dengan mengeong pelan. Tapi akhirnya dia pergi juga, karena toh aku gak membawa makanan untuk aku berikan ke kucing ini. Apakah dia sedang ingin menikmati senja juga? Entahlah.


Benar dugaanku, semakin lama langit mulai berubah warna. Dari sekedar kuning terang bergradasi ke warna biru, warna mulai berubah lebih jingga dan menyebar makin luas. Gerimis rintik-rintik mulai turun dan memberi sedikit riak di air danau yang tenang, tapi aku masih enggan beranjak. Aku masih penasaran mencari sudut-sudut yang bisa memberi siluet menarik untuk senja kali ini.


Saat hari sudah makin gelap, langit mulai berubah jadi lebih lembayung, bergradasi ke biru pekat, dengan taburan warna kuning emas dari sisa-sisa cahaya yang masih terpantul oleh awan. Luar biasa. Meski sedikit, pohon palem di sisi kiri itu bisa memberi variasi menarik dari deretan siluet, yang menambah keindahan langit senja.

Waktu baca salah satu status teman di fb, baru ngeh kalau suasana ini yang disebut sebagai twilight. Karena penasaran, aku coba selidiki lebih lanjut apa bedanya sunset dan twilight. Eh, rupanya twilight juga terjadi di pagi hari. Jadi twilight itu periode antara matahari masih nongol (persis di permukaan), dan ketika langit benar-benar gelap. Selain itu ada beberapa jenis twilight : civil, nautical dan astronomical. Civil twilight adalah saat paling terang setelah matahari tenggelam, sedangkan astronomical ketika langit hampir gelap, tapi masih menyisakan warna terang, biasanya warna biru gelap (beda dengan biru langit di siang hari)

28 January 2015

Matahari Terbit di Pagi Berkabut


Dua pria ini memacu sepedanya melintas jalan Rasuna Said, Bintaro, yang masih sangat sepi menuju arah Graha Bintaro. Ada beberapa pesepeda dalam rombongan itu, lebih dari satu. Meskipun bukan akhir pekan, tapi aku amati ada beberapa orang bersepeda di daerah ini, baik sekedar bersepeda, jogging atau jalan kaki.



Ini pertama kali aku datang ke tempat ini, karena penasaran jalan ini kira-kira ujungnya di mana. Udara pagi ini cukup dingin dan masih ada bekas kabut di sekitar jalan, mungkin juga karena semalam turun hujan. Tapi pagi ini langit tampak sangat cerah.


Nah karena aku melihat matahari baru aja terbit di timur, aku sengaja menghentikan motor dan parkir sebentar untuk menikmatinya. Apalagi udaranya segar, dan ada hamparan lahan kosong di pinggir jalan, yang cukup mendukung untuk menikmati sunrise moment ini.


Kebetulan agak jauh dari lahan kosong itu ada masjid, tidak terlalu besar, tapi cukup dominan dibanding bangunan lain di sekitarnya. Jadi aku cari posisi yang tepat untuk bisa dapat sudut foto yang bagus antara matahari dan masjid itu. Mulai dari matahari baru muncul, sampai tampak di atas kubahnya.


Lumayan lah, refreshing singkat dan spontan ini, meski tidak dramatis, tapi tidak mengurangi rasa syukur sudah bisa menikmati matahari terbit dan udara yang segar. Sesuatu yang mungkin agak susah ditemui kalau masih tinggal di tengah kota Jakarta :)

18 January 2015

Singapore Trip - Jan 2015


Waktu nonton film Chef, aku tertarik ketika si anak kecil bercerita ke ayahnya bagaimana dia membuat video hanya 1 detik (atau kurang lebih lah), dan kemudian menggabung-gabungkan video itu menjadi sebuah film tentang perjalanan mereka. Wah, menarik juga menurutku. Jadi aku coba bereksperimen dengan cara yang sama, untuk merekam perjalananku. Hanya saja aku tidak membatasi hanya 1-2 detik, tapi agak lebih banyak. Untuk di android juga ada aplikasi gratis untuk menggabungkan video itu, meskipun kualitas hasilnya tidak begitu bagus, tapi tetap menarik. Pada dasarnya aku masih malas untuk merekam video dan lebih suka memotret gambar diam.  Cuma cara seperti ini rasanya cukup menarik dan menantang juga.

Jadi ini bisa dibilang perjalanan pertama ke Singapura di tahun ini, seperti biasa, enam hari dari Minggu hingga Jumat. Ada beberapa kejadian menarik dalam perjalanan ini, misalnya delay keberangkatan pesawat hampir 2 jam, untuk pertama kalinya aku menikmati Bak Kut Teh, kemudian kena diare sejak hari ketiga dan terus berlanjut hingga membuat aku gak bisa kerja dengan maksimal. Selain itu waktu kembali ke Jakarta, aku sempat tertipu saat melihat turun dari pesawat (Lion Air) menggunakan aerobridge, kok tumben. Eh rupanya aerobridge itu tidak membawa masuk ke dalam bandara, tapi penumpang tetap saja turun ke lapangan dan diangkut dengan bis ... pengen ngakak juga waktu nyadar.

07 January 2015

Installasi Seni di Raffles Place


Beberapa kali mengunjungi Raffles Place, aku melihat ada beberapa karya seni installasi yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Yang pertama adalah tumpuka bola metalik berukuran besar ini. Silahkan hitung sendiri jumlahnya. Ini ada di dekat gedung the Arcade. Kita bisa selfie juga di situ dan langsung dapat efek fish-eye, lha wong cerminnya cembung :)


Kalau ini dekorasi berupa ratusan ikan yang ditempel di dinding. Karena di beri pagar pembatas, aku tidak bisa mendekat untuk tahu apa bahan yang digunakan untuk membuat ikan itu, apa kaca, plastik, fiber atau yang lain.


Dan ini mungkin karya seni yang sering diabaikan, karena cuma seperti tanaman yang diletakkan di tembok. Sewaktu aku amati, rupanya tanaman-tanaman itu disusun membentuk peta dunia. Telaten sekali.

01 January 2015

Bakar Ikan di Malam Tahun Baru


Malam tahun baru biasanya aku lewatkan begitu saja, tidur lebih awal, yang biasanya tidak nyaman karena bunyi petasan yang sangat berisik. Tapi kali ini aku coba ikut kegiatan di tempat baru, kebetulan pak RT yang rumahnya dekat rumahku mengajak untuk membakar ikan mujahir hasil tangkapan tadi siang. Aku ikut saja, selain untuk lebih mengenal warga lain, juga mengisi waktu luang di malam pergantian tahun ini.


Rasa ikan bakarnya enak, apalagi meskipun langit cerah, tapi udara malam lumayan dingin akibat hujan yang mengguyur sampai sore hari tadi. Tidak banyak warga yang hadir, tapi lumayan ramai lah meskipun cuma sekitar 8 orang, termasuk 2 bocah yang nimbrung belakangan. Sebagian warga memliki aktivitas sendiri di tempat lain, jadi tidak bisa bergabung.

Selamat Tahun Baru 2015!
Happy New Year 2015!

Senja di Situ Parigi - Pondok Aren

Kembali nongkrong di Situ Parigi, pas menjelang matahari terbenam, siapa tahu dapat golden hour yang menakjubkan. Air danau tampak berkurang...