23 February 2014

Flowers at Vila Istana Bunga, Bandung


Akan sia-sia rasanya kalau datang ke tempat ini tanpa sempat memotret beragam bunga yang ada di sini. Masalah paham nama-nama atau tidak, itu urusan belakangan, selalu bisa ditanyakan ke ahlinya nanti :)





Raker Tjroeng (2)


Keesokan harinya, setelah makan pagi tentu saja, rapat kerja dilanjutkan, masih bertempat di Vila Istana Bunga, Bandung. Agenda hari kedua ini lebih kepada pematangan hasil pembicaraan kemarin dan pembacaan notulen, jadi lebih santai.


Dan tentu saja di sela-sela acara tidak ketinggalan acara keroncongan bareng, meskipun kali ini kondisi perut sudah kenyang. Meskipun tidak diikuti oleh pemain keroncong profesional, tapi bukan berarti permainan keroncong yang dilakukan tidak dapat dinikmati :).


Kali ini mas Adi membawa sebuah buku, tulisan tangan, berisi kumpulan lagu keroncong lengkap dengan notasinya. Wah, baru tahu ternyata banyak lagu-lagu keroncong yang belum aku kenal. Rencananya website tjroeng nantinya juga akan diisi dengan kumpulan lagu-lagu keroncong, selain juga daftar praktisi keroncong dan berbagai kegiatannya.



Di akhir acara, tentu saja bagian yang tidak terlewatkan adalah berfoto bersama. Bangunan di latar belakang itu adalah vila yang kami sewa untuk acara raker, katanya sih sekitar 1 juta per malam. Cukup nyaman dan kamarnya banyak.


... no comment ...

Morning Walk @ Vila Istana Bunga, Bandung


Pagi ini aku masih sempat untuk jalan-jalan di sekitar Vila Istana Bunga, kebetulan bisa bangun pagi. Selain itu juga aku ternyata lupa membawa perlengkapan mandi, terutama sikat gigi, jadi terpaksa keluar kompleks untuk membelinya. Udara dingin, pepohonan asri, kicauan burung dan beragam jenis bunga adalah pemandangan yang sulit aku temui di Jakarta.


Ternyata ada juga yang menyewakan kuda di sini untuk dipakai berkeliling kompleks. Sayangnya aku tidak sempat tanya-tanya berapa biayanya dan sebagainya. Parahnya lagi, meskipun aku sudah mengenakan jaket, tapi tetap saja perutku tidak sanggup beradaptasi dengan angin dingin yang bertiup cukup kencang pagi ini, dan membuat aku masuk angin dan sakit perut. Jadi aku buru-buru pulang karena keringat dingin langsung mengucur.


Oh ya, meskipun agak jauh dari pusat kota, sinyal ponsel cukup kuat di sini dan kadang-kadang masih bisa mendapat koneksi internet meskipun tidak stabil.


Ah, aku masih ingat rumah-rumah ini, lokasi ini dulu dipakai oleh Faisal & Ester untuk melangsungkan resepsi pernikahan, lebih dari 10 tahun lalu. Kala itu aku disuruh jadi operator video pribadi, tapi karena sama sekali tidak berpengalaman, hasilnya sangat jelek :)

22 February 2014

Raker Tjroeng (1)


Perjalananku ke Bandung kali ini adalah dalam rangka mengikuti rapet kerja Yayasan Tjroeng, yang mengelola sebuah buletin khusus soal musik keroncong (www.tjroeng.com). Bukan karena aku bisa main keroncong apalagi nyanyi, tapi hanya karena kebetulan aku jadi pengelola websitenya :) Acara diadakan di Lembang, dan dalam perjalanan sempat foto-foto dulu di sekitar Dago Atas, mumpung dapat pemandangan yang bagus. Pak Widarto sengaja mengajak jalan melewati jalur ke arah Maribaya agar para peserta dari Jakarta bisa dapat pemandangan seperti ini.


Sampai di Lembang, tempatnya di Vila Istana Bunga, disambut dengan hujan, sudah dingin tambah dingin, pas jam makan siang pula, jadi pas lapar-laparnya.


Sambil menunggu bagian logistik menyiapkan makan siang, peserta lain asyik bermain keroncongan, yup keroncongan di saat "keroncongan". Pokoknya tiap ada acara ngumpul bareng begini, selalu tidak ketinggalan acara spontanitas begini, sambil melatih anggota baru yang gak bisa main musik - seperti diriku.


Sesi pertama diskusi memfokuskan diri pada rencana kegiatan utama dari yayasan yaitu menerbitkan buletin Tjroeng secara rutin. Kebetulan Pak Her sebagai penulis senior bersedia bergabung dan menyempatkan diri untuk ikut raker ini, dan di sini beliau memberikan banyak sekali masukan serta ide-ide bagi penerbitan buletin, baik dalam hal teknis penulisan maupun teknis penerbitan. Tiap rubrik dibahas dengan cukup rinci, termasuk masalah pembagian tugasnya.


Oh ya, ini ada souvenir yang dibawa oleh Mbak Clara dari Jakarta, sebuah mug berisi foto-foto para anggota yayasan. Keren... Rencananya souvenir juga menjadi bisnis penunjang kegiatan yayasan, mulai dari kaos, mug, dan sebagainya.


Beristirahat sebentar sambil bersiap-siap untuk bernarsis bersama, maklum Pak Her hanya bisa bergabung sampai jam 6 karena sudah harus kembali ke Jakarta hari ini juga. Sementara peserta yang lain tetap melanjutkan raker yang rencananya berlangsung hingga besok pagi.


Ini masih santai sehabis makan malam, sebelum lanjut ke sesi kedua yang lebih fokus pada memberdayaan media online seperti website, wiki, facebook, twitter dan sebagainya untuk menunjang buletin dan sosialisasi keroncong lebih luas melalui dunia maya. Akhirnya disepakati untuk memperluas content Tjroeng.com, tidak hanya untuk menampilkan buletin tapi juga sebagai gudang informasi segala sesuatu tentang keroncong.

Oh ya, makan malam kali ini menunya adalah sup iga sapi yang disiapkan oleh Mas Wiwied (tukang bakso), dan rasanya maknyus banget. Pokoknya makan sampai kekenyangan, termasuk makan tahu bakso yang dibawanya. Sudah lama gak makan sampai benar-benar melebihi kuota begini :) Untung gak langsung tepar setelah makan, dan masih bisa ikut sesi diskusi berikutnya.

Catatan : peserta raker kali ini, Mas Adi, Pak Widarto, Pak Her, mbak Isna, mbak Clara, mbak Lala, Rian, Mita, Mas Wiwied dan aku.

Go to Bandung !


Sabtu pagi hujan mengguyur Jakarta cukup deras, padahal hari ini aku berangkat ke Bandung untuk suatu acara komunitas. Sudah agak lama aku gak ke Bandung, dan meskipun ini bukan acara jalan-jalan dan berangkat sendiri, tapi aku cukup antusias karena cukup bisa jadi refreshing dan sedikit melupakan kesibukan kerja.


Berangkat jam 7 pagi (lebih dikit) dengan travel CitiTrans, karena poolnya dekat, yakni di mal Central Park. Lima belas menit sebelum keberangkatan aku mendapat telepon dari petugasnya untuk mengkonfirmasikan kehadiranku, salut juga, dan waktu itu aku sedang jalan kaki di tengah hujan. Tarif travel ini memang lebih mahal, 95 ribu, tapi kurasa cukup pantas dengan kursi yang nyaman dan adanya colokan listrik buat mengisi baterai.


Meskipun dengan sedikit kemacetan di Cipularang, tapi sebelum jam 10 aku sudah sampai di pool Dipati Ukur. Jadi total perjalanan kurang lebih 2.5jam, lumayan. Waktu sampai Bandung justru pas tidak hujan, jadi malah terasa agak gerah.


Persis di depan pool ada restoran steak yang namanya cukup unik - Steak Ranjang. Rupanya nama menunya juga aneh-aneh, dan sengaja dibuat erotis, cuma aku tidak melihat ada tulisan batasan umur pengunjung di sini.

Update: sempat mampir di sini untuk mencicipi, dan agak risih juga dengan nama-nama menunya. Soal harga, pas buat kantong mahasiswa jaman sekarang (bukan jamanku), dan untuk rasa sih wajar saja menurutku, pas dengan harganya, tidak terlalu istimewa.

20 February 2014

Another Walk in a Hot Sunny Day


Meskipun cuaca masih panas menyengat, aku tetap memutuskan untuk jalan kaki dari War Memorial Park menuju Dobby Ghaut. Hijaunya pepohonan di sepanjang jalan dan angin yang sesekali bertiup sejuk menemani dan menjadi penyemangat sepanjang jalan.


Katedral St. Andrew tampak dari sisi belakang, mulai tenggelam dengan gedung-gedung bertingkat di belakangnya. Rumput-rumput di kota ini mulai tampak kering, termasuk yang ada di sekitar gedung gereja.


Melewati Stamford Rd, aku bisa saja ambil jalan pintas dengan menyusuri terowongan Fort Canning ini, tapi tampaknya jalanan kurang nyaman. Jadi aku memilih sedikit memutar, seperti halnya jalur bis nomor 14 yang sering aku gunakan.


Salah satu kantin di kampus SMU. Kampus ini terdiri dari beberapa  bangunan yang terpisah satu sama lain, namun tetap terhubung oleh terowongan-terowongan di bawah tanah, dan dari terowongan itu juga langsung ada akses menuju stasiun MRT (Bras Basah).


Seni installasi yang tersusun dari batang-batang bambu ini masih dipertahankan berada di depan gedung Museum Singapura. Saat menyaksikan papan informasi, baru aku tahu kalau ini dibuat oleh orang Purworejo bernama Eko Prawoto berjudul "Wormhole", dalam acara Singapore Biennale 2013.


Sementara di Museum Nasional Singapura sedang ada pameran sejarah militer. Selain karena aku sedang tidak punya waktu luang, tema pameran juga kurang terlalu menarik minatku saat itu. Dari luar tampak ada beberapa alat berat seperti tank dan kapal perang.


Gedung gereja ini menjadi gedung terakhir yang kulalui sebelum aku sampai di St Dobby Ghaut, Orchard Road Presbyterian Church.

War Memorial Park


Setelah beberapa kali hanya lewat, baik waktu naik bis atau naik mobil bareng bos, siang ini aku sempat mampir di taman peringatan perang (War Memorial Park). Tugu yang menjulang sekilas mengingatkanku pada tugu Monas di Jakarta, atau tugu di Washington (yang hanya sempat aku lihat di film-film). Tugu ini menjadi peringatan bagi masyarakat sipil yang menjadi korban sewaktu Singapura dikuasai oleh Jepang.


Tampak satu keluarga bule sedang bermain di taman ini, di tengah cuaca siang yang sangat terik. Namanya anak-anak, yang penting bermain, sementara sang ayah sepertinya sedang suntuk dan lebih memilih berteduh sambil bermain dengan ponselnya.


Selain karena waktu terbatas, rombongan anak-anak muda ini juga membuatku enggan untuk menengok ke dalam monumen. Entah apa yang mereka kerjakan, yang jelas selama aku di situ, mereka asyik berfoto-ria. Salut juga, panas-panas gini tetap ngotot dengan kaos hitam :)

18 February 2014

Three Birds in the Morning


Tiga burung hinggap di antena tivi rumah tetangga, tampak terlihat dari lantai 3 tempatku menginap. Sederhana, tapi jelas menambah keindahan pagi, apalagi mengingat jarangnya aku melihat pemandangan seperti ini di Jakarta.


Rupanya salah satu burung memiliki warna yang indah, ada kuning dan merah di lehernya, sementara ekornya tampak kebiruan. Sebuah anugerah untuk mengawali hari, hiburan sederhana yang tetap patut untuk disyukuri.

17 February 2014

Cycling on Sunset Around Changi


Sepertinya ini adalah ujung dari kanal Bedok. Ok, sore ini judulnya bersepeda nekat menikmati matahari tenggelam. Tanpa rencana, tanpa pemanasan dan tanpa persiapan (termasuk minuman dll). Mumpung ada ksempatan dan ada sepeda yang bisa dipinjam, aku manfaatkan waktu buat jalan-jalan bersepeda. Lokasi favorit masih ke pantai timur (ECP), hanya saja kalau biasanya aku bersepeda ke arah barat, kali ini aku ambil arah timur. 


Meskipun sedikit terlambat, tapi aku masih bisa menikmati dan mengabadikan saat-saat setelah matahari terbenam, saat warna langit masih tampak menakjubkan, dengan latar depan muara-muara sungai.


Sebuah pesawat terbang rendah hendak mendarat di bandara internasional Changi. Jalur yang aku lewati memang akan menuju sekitar bandara tersebut, meskipun aku kurang tahu pasti juga, pokoknya asal genjot.


Memang benar, setelah hampir sejam bersepeda (karena gak bisa ngebut terus dan sesekali berhenti untuk foto-foto), sampai juga di samping bandara. Lumayan, masih ada keindahan terpancar di langit senja, sebelum akhirnya berubah jadi hitam pekat.


Melewati bandara Changi, aku jalan terus, hingga sampai di Changi Beach Park. Waktu yang terbatas membuatku enggan untuk mampir, dan terus melanjutkan perjalanan, jalan lurus hingga melewati pelabuhan feri, Changi Creek Reservoir, dan akhinya sampai juga di Changi Village. Di sini aku sempat istirahat sebentar, beli minum dan coklat untuk megganjal perut.

Kalau dah malam gini aku lumayan cemas juga, karena bisa dengan mudah kehilangan arah mata angin. Apalagi aku gak punya koneksi internet, jadi gak bisa buka google map. Akhirnya aku iseng cek rute bis di sebuah halte, dan bingo! Ada bis jalur 2 yang menuju Bedok. Jadi aku gunakan cara lama, ngintil bis :D Selain itu juga ada daftar halte dan jalan yang dilalui oleh bis itu, jadi bisa aku jadikan petunjuk sebagai rute pulang. Sepanjang jalan aku melewati penjara Changi, Museum Gereja Kecil dan juga Changi Expo. Total hampir 2 jam perjalanan yang kulakukan malam ini.

Hot Sunny Day in Tampines


Lapangan rumput yang ada di samping Tampiness Mall telihat mulai menguning dan banyak daun yang kering. Sepertinya hampir di setiap sudut kota tampak hal yang sama, kayak sudah lama gak hujan. Udara juga terasa panas menyengat, untungnya masih banyak pepohonan di sini dan agin sepoi-sepoi masih terasa sesekali.


Herannya, meskipun cuaca panas gini, si mbak itu masih dengan santainya nongkrong di pinggir lapangan seperti sudah terbiasa. Padahal banyak pilihan buat ngadem, toh sekelilingnya banyak gedung ber-AC.


Ternyata, di samping lapangan itu adalah terminal bis, yang kebetulan saja aku temui saat aku asal melangkah di sepanjang PKL dekat stasiun. Karena kulihat ada jalur bis yang langsung ke rumah bos, aku putuskan untuk naik bis saja, naik jalur 10 menuju Bedok.


Sambil menunggu bis, seorang gadis dengan santainya nangkring sambil tetap asyik menikmati musik dengan smartphonenya. Biasanya yang berulah kayak gini banyakan pria bertampang preman atau bocah-bocah ABG yang bergerombol, tapi ternyata ada juga perkecualian di sini :)


Salah satu alasan aku memilih memakai bis juga karena jalanan di sini cenderung sepi, nyaris tidak ada kemacetan. Antrian di lampu merahpun tidak terlalu padat, jadi cukup nyaman dan tidak terlalu kuatir membuang banyak waktu di jalan.


Selain itu potensi untuk melihat pemandangan menarik di sepanjang jalan juga lebih banyak. Tanpa terasa sudah sampai di Tanah Merah, menyeberang kanal Bedok, bentar lagi sampai.


Sebelum pulang tidak ada salahnya memotret sesama penumpang yang mungkin juga menikmati perjalanan ini, dengan cara yang berbeda tentunya.

Tea Time


Entah mengapa, kalau di sini rasanya paling cocok itu minum teh susu panas. Segar dan nikmat, manis tapi rasa sepet tehnya juga masih terasa.


Siang ini aku sengaja makan siang sendirian di mall, biar gak suntuk di depan laptop melulu.


Pak tua ini juga tampak sangat menikmati minumannya, sambil membaca koran berbahasa mandarin. Saat dia beranjak, akupun ikut beranjak. Bukan ikut-ikutan, tapi tehku juga sudah habis, dan waktunya pulang untuk kembali kerja :D

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...