Showing posts with label Society. Show all posts
Showing posts with label Society. Show all posts

23 July 2022

Vaksinasi Booster

Sesuai jadwal, sudah waktunya aku mendapat suntikan vaksinasi covid-19 yang ketiga, alias booster. Jadi pagi jam 7 aku ke puskesmas Sawah Lama buat ambil nomor antrian. Meski sudah datang pagi, menurutku, tetap saja dapat antrian nomor 70, heran juga.

Tapi karena kuatir nomor antriannya gak sesuai atau ada yang belum datang, aku datang cukup awal juga, sekitar jam 8 pagi lebih. Tapi ternyata memang antriannya banyak. Kombinasi dari banyaknya peminat serta makin berkurangnya ketersediaan vaksin, membuat banyak yang antri.


 Hampir sejam menunggu, akhrinya tiba giliranku juga. Kata dokternya, untuk booster ini, dosisnya penuh. Artinya efeknya akan lebih berat dibanding saat dosis pertama dan kedua.

Update:

Ternyata memang efek dosis ketiga ini lumayan berat. Tidak sekedar pusing dan demam, meski hanya sebentar, tapi yang parah aku rasakan adalah diare, sampai hampir 3 hari. Semoga saja efektif.

14 April 2022

Sehari di Jakarta Bersama Fe

Pagi ini aku mengajak Fe untuk jalan-jalan di Jakarta, tepatnya ke Tanjung Duren, sekalian untuk mengisi waktu saat kakaknya pergi ke rumah nenek bersama Bunda. Fe tidak diajak mudik karena belum mendapat suntikan vaksin, jadi berdua saja di rumah bersamaku. Kami berangkat ke Jakarta menggunakan Commuter Line dari Stasiun Jurangmangu.

Gerbong kereta masih cukup sepi, jadi Fe bisa mendapat tempat duduk, apalagi masih ada pembatasan jumlah penumpang terkait PPKM meski sudah mulai longgar. Aku sempat bingung waktu Fe bertanya, kapan masuk terowongannya. Belakangan baru ingat kalau yang dimaksud Fe adalah MRT karena dulu mereka pernah diajak naik MRT dari Lebak Bulus ke Senayan, jadi sempat masuk ke terowongan.

Kami turun di Stasiun Palmerah, terus pindah menggunakan taksi online (GoCar). Meski jam kerja, tapi jalanan masih cukup lancar.

Tujuan utama kami ke Jakarta kali ini adalah untuk mengambil surat pindah. Sebelumnya kami masih terdaftar sebagai warga DKI meski sudah pindah domisili ke Tangsel. Kami malas mengurus surat pindah sehingga kalau ada kegiatan terkait wilayan seperti Pilkada dan juga vaksinasi, kami masih sering dipanggil ke sini. Belakangan, kata pak RT, pihak terkait mulai ketat dalam pendataan warga mereka, apalagi kami sudah tidak ada tempat tinggal di sana.

Hingga suatu saat ketika mendaftar sekolah El di SD, pihak sekolah sempat mempertanyakan format Kartu Keluarga yang masih memakai format lama, ada kekuatiran kalau tidak diakui oleh dinas pendidikan terkait. Ketika kami mencoba mengajukan cetak KK, melalui sistem online, pengajuan kami ditolak, karena dianggap sudah tidak tinggal di wilayan itu. Pak RT setempat juga sudah tidak bisa membantu, mungkin karena kami jarang berkunjung (dan bayar iuran), karena pandemi jadi jarang pergi-pergi. Akhirnya kami putuskan untuk melakukan mutasi kependudukan ke Tansel. Tahap pertama adalah mengajukan surat pindah, yang bisa dengan mudah dilakukan secara online melalui sistem disdukcapil Jakarta Barat.

Kami cukup isi data melalui aplikasi Alpukat Betawi, termasuk mengisi kapan waktu untuk mengambil surat pindahnya. Proses sangat lancar, dan hari ini kami hanya mengambil suratnya saja. Karena masih pandemi, kami tidak perlu masuk ke kantor kelurahan, cukup memberi info ke satpam yang bertugas, dia yang lapor dan mengambil surat itu untuk kami. Lima belas menit beres.

Dari kantor kelurahan aku ajak Fe jalan kaki ke Mal Central Park, sekalian nostalgia dulu sering jalan ke sana untuk makan siang. Lewat ke rumah pak Budi/bu Warni, tapi rumahnya tutup.

Karena sudah lapar, aku langsung ajak Fe ke tempat makan. Tujuan utama adalah foodcourt Urban Kitchen, tapi ternyata tutup karena sedang renovasi. Jadi aku ke tempat ramen saja, Ikkudo Ichi, biar bisa makan ramen haram hehehe.

Meski ada beberapa pengunjung, tapi tempatnya relatif sepi.

Aku pesan dua porsi ramend, satunya berkuah pakai daging babi, satu lagi tidak berkuah pakai daging ayam, maksudnya buat Fe.

Tapi ternyata Fe lebih memilih ramen yang pakai kuah, meski makan ramennya dikit, tapi dia cukup menikmati kuahnya. Dagingnya sih aku yang makan karena dia masih gak suka makan daging. Aku sempat minta dia makan sedikit telur yang ada. Lumayan lah, setidaknya dia juga bisa enjoy makan, jadi aku gak cuma makan sendirian.

Habis makan kami jalan-jalan sekitar mal, dan tentu saja menyempatkan untuk mampir di tempat kolam ikan koi yang ikannya besar-besar.



 Setelah puas bermain, kami kembali ke rumah. Naik taksi dari mal ke Stasiun Palmerah, kemudian lanjut naik kereta sampai Stasiun Jurangmangu, kemudian naik motor ke rumah.

Perjalanan yang melelahkan tapi menyenangkan dan urusan juga tuntas. Tahap selanjutnya adalah mengurus surat datang di Tangsel agar bisa membuat KK dan KTP baru.

26 February 2022

Vaksinasi Covid Pertama dan Kedua

Suasana di puskesmas Sawah Lama saat diadakan vaksinasi covid-19. Adanya pelonggaran PPKM dan vaksinasi sebagai syarat untuk bisa bepergian ke luar kota, membuat antusiasme warga untuk mendapatkan vaksinasi jadi melonjak.

Tanggal 5 Februari 2022, aku dapat suntikan vaksinasi covid yang pertama.

Aku bukan antivaksin, sebaliknya justru mendukung vaksinasi, meski kurang suka kalau apa-apa jadi harus pakai syarat sudah divaksin. Meski vaksinasi sudah dilakukan sejak lama, tapi baru kali ini aku menyempatkan diri untuk mendapatkan vaksinasi. Soalnya tahun lalu aku sudah kena infeksi covid varian Delta, sebelum sempat mendapat vaksinasi. Selanjutnya menurut aturan aku disarankan menunggu setidaknya 6 bulan baru bisa dapat vaksinasi. Ya sudah, toh aku juga gak kemana-mana.

Selain itu aku pikir vaksinasi sudah tidak gencar lagi, karena aku jarang dapat info dimana saja ada vaksinasi. Belakangan baru tahu kalau di puskesmas ada jadwal rutin vaksinasi, jadi aku tanya ke puskesmas terdekat, katanya bisa datang hari Sabtu. Ya sudah, jam 7 aku ambil antrian dari satpam, pulang sebentar, terus jam 8 mulai antri di puskesmas. 

Dimulai dari mengisi kartu vaksin dan form keterangan untuk screening, terus nunggu dipanggil sesuai nomor antrian. Aku dapat nomor sekitar 40an, tapi tidak sampai satu jam sudah dapat giliran. Saat screening ada pertanyaan, pernah kena covid atau belum. Pernah, tapi sudah tahun lalu. Selanjutnya nunggu giliran disuntik vaksin. Aku dapat jenis vaksin Pfizer.

Efek vaksin ini lumayan berat, setidaknya dibanding dengan Sinovac. Beberapa orang yang dapat vaksinasi sinovak mengatakan mereka tidak merasa efek apa-apa. Sementara aku merasa pusing (sampai 2 hari), sedikit demam dan pegal di lengan bekas (lumayan lama, sampai seharian). Tapi gejala ini gak begitu parah dibanding saat terkena covid varian Delta. Makanya aku sengaja gak minum obat, meski rasanya aku jadi agak lemas dan malas ngapa-ngapain, untunglah pas akhir pekan jadi lebih santai. Di hari ketiga aku iseng minum kopi, eh gak lama kemudian rasa pusingnya hilang. Gejala lain sih sudah hilang sejak lama, tinggal pusing yang agak awet.

Tanggal 10 Feb 2022, pagi hari aku, El dan Fe pergi ke klinik Dhia untuk swab test antigen. Soalnya istriku sudah lebih dulu test dan ternyata positive terkena covid (lagi) varian Omicron. Memang dia dan Andre sempat batuk-batuk beberapa hari ini. Kemungkinan terkena dari teman kantornya, karena sudah mulai kerja dari kantor. Aku sendiri memang merasa tenggorokan kurang nyaman beberapa hari lalu, tapi gak batuk atau demam, hanya sedikit pusing. Selebihnya semua tampak normal. Tapi karena tinggal satu rumah, gak heran kalau aku juga positif terinfeksi virus covid-19, begitu juga dengan El. Sedangkan Fe tidak dites, toh bakal tetap ikut isoman. Aku paling benci tes swab ini, soalnya hidung agak sensitif, jadi waktu dites pasti bersin dan "nangis".

Saat test di klinik, rupanya bareng dengan keluarga pak Budhi, tetangga dekat rumah. Sekitar seminggu lalu beliau dinyatakan positif terkena covid, dan sekarang semuanya tes lagi untuk memastikan sudah sembuh atau belum. Syukurlah mereka semua, termasuk ibunya, sudah dinyatakan negatif.

Kalau saat terkena virus varian Delta tahun lalu kondisinya sangat menyiksa dan cukup lama, kali ini yang aku rasakan berbeda. Bisa dibilang aku nyaris tanpa gejala. Tidak demam, tidak batuk, penciuman normal, nafsu makan juga gak masalah. Lebih gak enak waktu merasakan efek vaksin pertama. Mungkin juga karena aku baru seminggu dapat vaksin, jadi kekebalan akibat vaksin masih cukup kuat meski virus tetap bisa masuk. Hanya karena aku sungkan dengan tetangga saja, makanya aku ikutan isoman, gak kemana-mana sampai kami semua dinyatakan negatif.

Kalau waktu varian Delta, butuh waktu 14 hari untuk boleh tes lagi dan mendapat hasil negatif, saat kena varian Omicron ini, rata-rata hanya butuh 7 hari untuk tes ulang dan kebanyakan hasilnya negatiif. Aku sempat mencoba ikut PCR di puskesmas, tapi hasilnya lama. Jadinya tanggal 20 Feb 2022 aku tes antigen di klinik lagi, dan dapat hasil negatif. Jadi kami bisa beraktivitas normal lagi di luar rumah.


 Beberapa jenis vaksin, seperti sinovac, harus menunggu sekitar 3 bulan sejak vaksinasi pertama untuk bisa mendapat suntikan yang kedua, vaksin jenis Pfizer jaraknya cukup dekat, cuma 3 minggu. Makanya tanggal 26 Feb 2022 aku sudah ikutan lagi vaksinasi tahap kedua, dapat Pfizer lagi, di tempat yang sama yaitu di puskesmas Sawah Lama. Sebenarnya aku belum disarankan mendapat vaksinasi karena baru saja kena covid dan seharusnya menunggu 2-3 bulan lagi. Tapi aku cuek saja lah, malas nunggu lama lagi, keburu gak sempat pulang kampung hehehe.

Lagi-lagi, efek paska vaksinasi tahap kedua ini mirip dengan tahap pertama. Yang penting sudah sah, dapat sertifikat vaksin di aplikasi Peduli Lindungi, dan warna status berubah jadi hijau. Bisa lebih tenang kalau mau jalan-jalan ke tempat rekreasi atau ke mal.

03 February 2021

Semprot Disinfektan

Petugas BPBD Kota Tangerang Selatan sedang melakukan penyemprotan disinfectant di sepanjang jalan, termasuk jalanan di kompleks kami. Tumben tidak ada pemberitahuan dari pengurus, mungkin memang kegiatannya mendadak atau spontan.

Penyemprotan cairan disinfectant secara besar-besaran ini sebenarnya memicu pro dan kontra. Banyak yang tidak setuju dengan efektifitasnya, sementara biayanya gak murah. Ada yang berpendapat, virus (khususnya Covid-19) yang ada di jalanan tidak banyak jadi sumber penularan. Penularan terbesar terjadi antara kontak antar manusia. Lebih efektif adalah tindakan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta menjaga jarak. Tapi mungkin ada manfaatnya juga buat mencegah penyakit karena bakteri, kuman atau virus lainnya ... semoga. Mirip seperti fogging untuk mengatasi masalah nyamuk, tidak terlalu efektif terhadap nyamuk, tapi sukses membuat kecoa kelimpungan hehehe.

Bagaimanapun juga, disinfectant tidak ramah bagi manusia, jadi tidak bisa disemprot terlalu sering, karena bisa berbahaya.


Tapi mengapa banyak pemda masih sering melakukan ini? Ya namanya berusaha, ikhtiar, tindakan pencegahan ... siapa tau bermanfaat. Ada juga yang nyinyir, untuk menghabiskan anggaran, atau sekedar pencitraan. Sak karepmu.

Memang selama ini aku belum pernah melihat berita yang mengungkap data atau penelitian apakah ada dampak penyemprotan disinfectan di jalanan ini terhadap jumlah penderita Covid-19 di daerah tersebut.
 

02 December 2020

Pengamen Manusia Perak


 Seorang pengamen yang dikenal dengan istilah "manusia perak" karena mengecat tubuhnya dengan warna perak, sedang beraksi di lampu merah Tegal Rotan. Keberadaan mereka sering dianggap sebagai gangguan, dan seringkali satpol PP melakukan razia terhadap mereka.

Apakah pengamen adalah seniman? Ini bisa jadi perdebatan. Bagi sebagian orang, seniman panggung itu juga pengamen, bedanya dapat bayaran yang pasti. Sedang pengamen jalanan, bayaran gak jelas. Bedanya, seniman yang berpentas di panggung, kebanyakan punya kualitas yang teruji. Kalau kualitasnya jelek, sapa yang mau bayar? Sementara pengamen, sebagian besar kualitasnya ala kadarnya, jadi orang yang "membayar" lebih banyak karena terpaksa, atau kasian. Kalau ada pengamen yang kualitas seninya bagus, terbukti banyak orang yang rela dan senang hati memberi saweran.

Perlu kreativitas, dan mungkin juga dukungan dari pemerintah daerah, agar para pengamen berkualitas bisa menampilkan seni yang pantas dihargai, tidak hanya meminta belas kasihan, apalagi memaksa dan mengganggu.

25 November 2020

Membaca Ulang Komik Pandemic

Gara-gara viralnya foto pejabat yang sedang membaca buku, aku jadi ingin pasang foto serupa, dan memilih komik berjudul Pandemic ini, karena agak cocok dengan situasi saat ini. Tapi jadinya malah penasaran ingin membaca ulang. Komik ini aku beli sudah lama, jaman belum musim belanja online dan masih sering main ke Gramedia. Termasuk komik bertema dewasa, karena temanya memang lebih mikir dan banyak gambar yang "sadis", untungnya hitam putih, jadi tidak terlalu mencolok.

Komik ini adalah cerita fiksi, tapi berdasarkan analisa mendalam setelah adanya wabah semacam SARS. Intinya mencoba "memprediksi" apa yang terjadi jika ada wabah mirip SARS tapi lebih meluas dampaknya, termasuk penyebaran yang cepat dan menjadi pandemi. Komik ini seperti memprediksi akan adanya kekurangan tenaga medis dan tidak sanggupnya rumah sakit menampung penderita.

Tenaga medis yang kelelahan, juga ikut menjadi korban, juga diceritakan di sini. 

Keputusan pemeritah yang melakukan lockdown banyak diprotes oleh warga, termasuk banyak warga yang seperti tidak peduli dan tidak mau menuruti anjuran pemerintah. Intinya pemerintah dan masyarakat banyak yang tidak siap menghadapi masalah wabah ini. 

Tidak ada obat dan harapan satu-satunya adalah vaksin yang butuh waktu lama untuk membuatnya. Solusi sementara yang cukup efektif adalah dengan transfusi serum (plasma darah) dari penderita yang sudah sembuh, berdasar pengalaman dari wabah Ebola di Afrika.

Kalau dicermati, sebagian besar is komik ini menggambarkan kondisi nyata saat ini, saat wabah Covid-19 menyebar dari Wuhan ke seluruh dunia, dan banyak pemerintahan termasuk di negara maju cukup kewalahan menghadapinya. 

Bukankah sebelumnya sudah pernah ada wabah flu babi dan flu burung, tapi mengapa dampaknya tidak seheboh saat ini. Awalnya aku pikir karena perkembangan internet membuat informasi jadi lebih menyebar luas dan cepat. Tapi mengingat banyaknya korban, dan terjadi cukup merata di semua wilayah, aku yakin Covid-19 ini berbeda dengan flu burung atau flu babi yang seperti lebih mudah "terlokalisasi". Bahkan SARS yang lebih ganas pun bisa berhenti di daerah tertentu, tanpa bikin heboh soal lockdown.


 Semoga pandemi ini segera berakhir, dan perekonomian bisa pulih dengan lebih cepat.

05 August 2020

Siasat Mal di Masa Pandemi

Stiker jaga jarak ditempatkan sebagai petunjuk bagi pengunjung sebelum memasuki mall. Ada pengecekan suhu dan juga fasilitas cuci tangan bagi pengunjung, dan juga ada pembatasan jumlah pengunjung.

Indonesia tidak berani menerapkan lockdown secara total, karena tidak siap secara ekonomi, jadi hanya menerapkan pembatasan sosial - inipun sudah berdampak cukup berat bagi perekonomian. Untuk itu beberapa mall membuat beberapa strategi untuk menghindari penyebaran virus Covid-19, sembari tetap beroperasi. Begitu juga di Bintaro Exchange Mall yang tak jauh dari rumah.


Wahana ice-skating di Bintaro Exchange tutup, dan tidak ada lapisan es di permukaan lantai. Akibatnya terlihat wujud asli lantai, berantakan dan terlihat aneh.



Selain stiker peringatan untuk menjaga jarak, elevator juga dilengkapi dengan fitur pendukung seperti tombol tanpa sentuh - cukup dengan meletakkan tangan di depan sensor untuk menentukan apakah akan naik atau turun.


.. di dalam lift juga disediakan hand-sanitizer..., sesuatu yang cukup populer, bahkan sempat mengalami kelangkaan.




Melihat tempat parkir sepeda yang ada di mall jadi merasa kangen untuk bersepeda. Sayangnya kondisi saat ini kurang memungkinkan bagiku, meskipun di masa pandemi justru peminat olahraga bersepeda jadi meningkat. Aku masih belum merasa leluasa "bersantai bersepeda" selagi masih ada anak-anak yang selalu nginthil dan perlu ditemani.

Semoga pandemi ini bisa segera berakhir.

16 May 2020

Belanja di Supermarket di Masa Pandemi

Pengunjung supermarket Hari-Hari di Bintaro diminta antri sebelum masuk ke toko. Agak panjang juga dari pintu masuk. Di masa PSBB ini, jumlah pengunjung di dalam ruangan supermarket dibatasi. Kalau gak terpaksa, aku bakal milih pulang saja atau belanja di pasar biasa. Sayangnya, pilihan belanja ikan buat kucing yang paling praktis saat ini ya di sini - harga bersaing, bisa ngutang.


Antrian tidak separah yang aku bayangkan, gak lama aku sudah mendekati pintu masuk dan menjalani berbagai protokol kesehatan - cek suhu dan cuci tangan. Ada petunjuk agar belanja tidak memakan waktu lama dan beberapa aturan yang dibuat untuk masa pandemi ini.


Eh, ternyata setelah lewat pintu masuk, masih ada antrian lagi. Setidaknya di sini disediakan kursi sehingga mengantri lebih nyaman. Mungkin sekitar 30 menit antrinya, baru dipersilahkan masuk setelah ada beberapa pengunjung yang selesai belanja.



Akibat pembatasan jumlah pengunjung ini, jadinya nyaris tidak ada antrian di kasir - meskipun ada faktor tanggal juga, bukan pas gajian. Jadi rasa bosan menunggu saat awal bisa terbayar dengan tidak adanya antrian saat membayar belanjaan. Biasanya, antrian di sini lumayan lama, apalagi saat akhir pekan.
 

01 April 2020

Berbagi Makan Siang Untuk Para Ojol

Selama ini aku hanya mendengar atau membaca di sosial media tentang maraknya aksi berbagi, khususnya makanan, untuk orang-orang tertentu yang terkena dampak pandemi Covid-19 ini. Memang, yang paling sering disorot adalah pengendara ojek online. Tapi kali ini aku berkesempatan untuk menjumpai secara langsung.



 Lokasinya ada di depan masjid Jami yang persis di seberang mal Bintaro Jaya Exchange, daerah Tegal Rotan, Pondok Aren, Tangsel. Aku tidak sempat menggali informasi lebih banyak tentang siapa dermawan tersebut, juga apa motivasinya, tapi sembari meninggalkan lokasi itu, aku iringkan doa semoga Tuhan memberkati semua.


Masih adanya orang yang peduli dengan sesama menjadi harapan tersendiri bagi masyarakat di tengah-tengah pagebluk seperti ini. Semoga keadaan jadi makin membaik, secara keseluruhan, tidak perlu waktu lama.

13 November 2019

Hari Ayah di Sekolah


Hari ini sekolahnya El penuh dengan bapak-bapak, kebanyakan masih muda kisaran 30-40an. Ini karena para bapak diundang untuk mendampingi anak-anak mereka berkaitan dengan hari Ayah Nasional.


Ada berbagai macam acara, selain upacara dan perkenalan masing-masing ayah. Ada lomba bersama ayah-anak, menyanyi bersama, dan mendongeng bareng.


Hampir semua anak menikmati kebersamaan dengan ayahnya, senang bisa sekolah ditemani sang ayah, dan beberapa terus menempel ayahnya. Kecuali El hahahaha. Memang dia senang saat aku ikut masuk ke sekolah, tapi berikutnya dia segera asyik dengan dunianya sendiri, bermain ke sana kemari tanpa mengikuti rangkaian acara yang ada. Sesekali dia menghampiriku, tapi tetap lanjut bermain sendiri.


Di ruang kelas, saat semua anak duduk rapi bersama ayah mereka dan mengikuti arahan bu Guru, El tetap memilih bermain. Sempat dia mencoba menghapus tulisan di papan tulis, dan aku larang, membuat dia ngambek dan memilih tidur di rak. Tapi tak lama, dia segera lanjut bermain. Hanya saat membuat prakarya bersama, dia antusias membuatnya bersamaku.


Secara keseluruhan, kegiatan ini bagus sekali. Tentu agak merepotkan bagi para ayah karena harus bolos kerja sebentar, tapi kebersamaan seperti ini memberi kegembiraan tersendiri bagi sang anak (dan mungkin juga bagi para ayah). Ada yang semangat curhat karena sering ditinggal pergi ayahnya bertugas, dan antusias sekali saat ayahnya ikut mendampingi di sekolah.

Selamat hari ayah nasional, untuk semua ayah di negeri ini.

21 December 2017

Terompet Tahun Baru


El sedang serius mengamati pemulung yang sedang membuat terompet dari kertas. Salah satu ciri/icon pergantian tahun Masehi adalah terompet, jadi wajar kalau banyak penjual terompet dadakan yang mencoba mengais rejeki.


Entahlah apakah bisnis terompet ini masih menguntungkan atau tidak, mengingat begitu gencarnya "kampanye" (baca: hasutan) untuk tidak merayakan pergantian tahun Masehi ini dan ajaran yang mengaitkan terompet dengan budaya Yahudi. Dengan meluasnya penggunaan media sosial, kampanye semacam itu jadi lebih masif dan meluas, ditambah dengan "potensi" penyebaran penyakit lewat terompet dan beragam meme liar yang beredar luas.


Terus terang, mengaitkan terompet dengan budaya kaum tertentu, apalagi dengan terompet malaikat maut, adalah hal yang konyol. Tapi aku setuju tentang masalah kesehatan,jadi perlu bijaksana, meski gak perlu terlalu paranoid.

Semoga saja para pemulung ini bisa mendapat tambahan rejeki yang banyak dari usaha terompet dadakan seperti ini.

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...