31 May 2013

Only in Jakarta


Di depan rumah ada pemuda yang memasang kabel, entah listrik atau telpon atau kabel lainnya. Sepertinya sih bukan dari instansi resmi, malah aku sempat curiga kalau dia mau "mencuri listrik". Tapi aku sih gak mau terlalu ikut campur atau sok curigaan, jadi kubiarkan saja.


Yang cukup menarik perhatian adalah cara dia memasang tangga. Tetangga depan rumah sempat menegur dia dan bertanya apakah aman memasang tangga langsung di kabel tersebut. Sang pemuda dengan sangat yakin bilang kalau itu aman. Okelah, memang tidak terjadi apa-apa sampai pekerjaannya tuntas.

27 May 2013

Lapangan Denggung


Sudah lama lapangan ini berbenah, lebih terawat dan bersih. Menurutku, lapangan inilah pusat kota Sleman. Waktu kecil dulu aku sering bermain sepakbola di sini, justru tidak bersama teman-teman se dusun, tapi bersama teman-teman dari desa lain. Pokoknya asal ada yang main bola dan kurang orang, aku bergabung. Btw, gelandangan yang sedang membawa alat mandi itu sudah kukenal sejak aku kecil, hanya saja aku lupa namanya.


Di lapangan ini juga dulu sering diadakan pasar malam dan pertunjukan layar tancap. Kalau istilah kerennya, bisa juga disebut Slemain Fair hehehe. Meskipun isinya begitu-begitu saja, tapi karena lokasinya dekat, aku gak pernah absen nonton pameran pembangunan dan pasar malam di sini. Sekarang sudah ada taman bermain anak-anak.


Wow ... di taman yang terletak di salah satu sudut lapangan ini ternyata ada beberapa alat fitnes juga. Padahal di Jakarta saja aku jarang nemu. Kalau di Singapura memang banyak. Moga saja peralatan itu tetap awet.


Di sebelah selatan lapangan juga ada patung gajah, dengan dua anak gajah. Bagus, apalagi di sekitarnya pohon-pohon cukup rindang. Beda banget dengan suasanya waktu aku masih kecil, gersang karena pepohonan cuma ada di sekeliling lapangan (pinggir jalan). Tapi kenapa patung gajah ya? Apakah ada gajah di Sleman? Mungkin kalau patung salak kurang menarik hehehe. Pas iseng google, nemu artikel ini  : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/05/23/asal-usul-sleman-dan-ki-ageng-wonolelo-562564.html


Beberapa peralatan bermain anak-anak, yang kalau dilihat catnya sih masih terawat, meskipun lantainya sudah bopeng-bopeng. Tampak sepi, karena aku datang pas hari Senin pagi, bukan di hari libur.


Dua orang petugas kebersihan sedang beristirahat. Pantes saja bersih.


Oh ya, tempat sampahnya pun unik, ada yg berbentuk kangguru, ada juga yg berbentuk kodok. Moga saja dengan keunikan ini bisa mendidik anak-anak untuk membuang sampah pada tempatnya. Kadang prihatin melihat orang tua justru memberi contoh buruk pada anaknya, dengan membuang sampah sembarangan.


Di sebelahnya, persis dekat lampu merah, ada taman dengan patung adipati Sleman yang pertama, kalau gak salah KRT Pringgodiningrat. Tamannya cukup terawat. Kalau melihat taman dan lapangan Denggung ini, aku gak lagi merasa malu kalau Sleman dapat piala Adipura :)

Small Flowers


Jalan-jalan pagi ini aku agendakan untuk "mengoleksi" bunga-bunga berukuran kecil, bunga-bunga liar gampang ditemui di pinggir jalan, dan sering tidak dianggap. Meskipun sering diabaikan orang, tapi bagiku mereka tetap cantik dan menarik.


Sayangnya, seperti halnya bunga-bunga pada umumnya, aku gak tahu nama bunga-bunga itu.


.... yg ini bukan bunga, tapi jamur :) ....



Nah, kalau yang kuning ini waktu kecil aku menyebutnya kambil-kambilan (kambil = kelapa, karena mirip dengan pohon kelapa). Tanaman ini dulu sering kami pakai untuk bermain, kami rontokkan daunnya, terus diikat dengan simpul khusus terus diadu. Yang simpulnya gampang putus pertanda kalah.


Nah, kalau yang ini putri malu. Cantik, mungil, tapi berduri. Daunnya akan menutup jika tersentuh sesuatu, makanya dibilang malu :)

Sparrows at Rice FIeld


Bagi petani, burung pipit (emprit) adalah hama. Mereka mengambil biji padi di sawah, dan jumlahnya banyak.


Bagiku, yang bukan petani, melihat burung pipit adalah menyenangkan. Apalagi setelah lama tinggal di kota besar, dimana sangat jarang bisa melihat burung di alam bebas.


Kalau di Singapura, justru burung pipit atau burung gereja lebih jarang dilihat. Malah yang banyak adalah burung jalak (myna) sehingga burung itu dianggap sebagai pengganggu, padahal di Jawa aku jarang melihat burung jenis jalak itu di alam bebas, apalagi di perkotaan.

26 May 2013

Kethek Ogleng


Pas di Taman Budaya Yogyakarta, aku kebagian tontonan Kethek Ogleng, yang dibawakan oleh salah satu grup dari Gunung Kidul. Aku sudah sering mendengar istilah kethek ogleng ini, tapi tidak pernah tahu persis bentuk keseniannya seperti apa. Katanya kesenian ini berasal dari Wonogiri.


Seperti halnya kelompok kesenian tradisional pada umumnya, personil pendukung pertunjukan ini rata-rata sudah tidak muda lagi. Makanya wajar kalau ada kekuatiran kesenian tradional semacam ini akan punah, atau malah diadopsi oleh bangsa lain dan kita harus belajar ke luar negeri untuk tahu. Moga saja gak sampai terjadi.


Beberapa anak remaja mengajak pemeran utama pertunjukan ini untuk berfoto bersama. Mungkin mereka kenal dengan pemerannya, atau mungkin juga mereka hanya wisatawan pada umumnya.


Ah, untunglah pemeran utama pertunjukan ini masih tergolong muda, meskipun tidak terlalu belia. Mbak ini memerankan Rara Tompe, yang merupakan penyamaran dari Dewi Sekartaji :) Di sebelahnya adalah pembawa acara, yang kelihatannya tidak paham bahasa Jawa karena beberapa kali dia tampak kesulitan saat mengucapkan beberapa kata-kata jawa, termasuk saat menyebut nama Kethek Ogleng.


Meskipun aku tidak yakin dengan jalan ceritanya, tapi sepertinya bapak ini memerankan Raden Panji Asmorobangun.


Pertunjukan sudah dimulai, diawali dengan tarian Kethek Ogleng, sang Kera yang merupakan penyamaran dari Panji Asmorobangun, dalam usaha mencari kekasihnya.


... tampak belakang ....


.... Rara Tompe siap-siap beraksi ...


... ada beberapa wisatawan mancanegara yang mampir dan sejenak menyaksikan pertunjukan ini. Aku rasa, pertunjukan tradisional seperti ini sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja oleh wisatawan asing.


Si kethek memanfaatkan pohon beringin di belakang panggung sebagai bagian dari aksinya, karena setting adegan ini memang ditengah hutan.


... dapat close-up lagi ... (mohon dimaafkan kalau foto Roro Tompe terlalu mendominasi)


Sayangnya aku tidak sempat menyaksikan pertunjukan ini sampai selesai. Sudah terlalu sore, dan aku harus segera pulang karena keterbatasan angkutan umum di malam hari. Aku lagi malas pulang naik taksi. Perlu banyak menghemat untuk liburan kali ini.

Assorted Moments in Jogja


Sedang ada pembangunan jalan layang di perempatan Jombor (ringroad utara), katanya ditargetkan selesai sebelum Lebaran. Pembangunan ini membuat terjadi kemacetan, biasanya dari jalur selatan dan timur yang akan ke arah utara. Oh ya, di pojok perempatan juga ada McD, moga saja nantinya tidak menambah kemacetan di sini.

Agenda hari ini adalah jalan-jalan di Jogja, tanpa rencana, tanpa tujuan. Pokoknya jalan aja sekenanya.


Eh ada satu tujuan dink, ke tempat bude di Timoho. Naik TransJogja dari Jombor, aku putuskan untuk turun di Kridosono dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Lumayan, kurang lebih 2 km lah, sambil menikmati suasana Jogja di hari minggu.


... jembatan penghubung dua gedung di UKDW Jogja ....


Di tepi jalan samping Balai Yasa PT KAI, mampir dulu menikmati segelas dawet ayu di bawah rindangnya pohon-pohon tua yang masih asri. Tempat yang nyaman untuk beristirahat di hari Minggu, karena lalu lintas kendaraan juga tidak banyak.


Tampak sekelompok pemuda-pemudi dengan kostum jaman perjuangan, dan sepeda onthelnya, juga baru saja mampir di salah satu gerobak dawet ayu. Wah, dah lama aku pengen punya topi model tentara Jepang itu, sayang gak pernah ketemu toko yang menjualnya.


Masa kecilku tidak bisa terlepas dari pasar ini, Pasar Talok. Waktu kecil aku sering ikut bu de ke pasar ini, belanja dan membeli jajanan. Sekarang sudah direnovasi, lebih rapi dan tidak lagi menutup jalan. Lokasi pasarnya pun digeser lebih ke Timur, jadi lebih dekat dengan rumah bude.


Kalau ada yang merasa angker punya rumah dekat kuburan, tidak demikian dengan keluarga bude di Gendeng, Timoho ini. Rumahnya persis menempel dengan kuburan, bahkan untuk menuju kerumahnya, memakai jalan yang sama dengan jalan menuju kuburan :) Waktu kecil aku suka main di kuburan itu, dan sering mencari recehan dengan membantu para peziarah membersihkan makam mereka.


Terakhir aku datang ke Jogja, lebih dari satu tahun, Saphir Square masih berdiri dengan megah. Aku belum sempat masuk ke mall ini, hanya saja yang kuingat adalah tempat ini menambah titik kemacetan di Jogja, khususnya di jalan Solo. Eh, kok tahu-tahu sekarang dah tutup.


Nah, gapura bergaya Tionghoa ini juga sepertinya baru aku lihat sekarang. Adanya reformasi memungkinkan gapura seperti ini bisa berdiri megah, dan menjadi salah satu icon pariwisata di Jogja. Semoga Jogja semakin menjunjung tinggi tolerani, pluralisme dan selalu berhati nyaman !


Belum lengkap ke Jogja kalau belum ke Malioboro, kurang lebihnya begitulah. Makanya aku juga meluangkan waktu mampir di tempat ini, sekedar mengobati rasa penasaran tentang perkembangan tempat ini. Syukurlah becak dan andong masih eksis, di tengah padatnya kendaraan bermotor dan bis TransJogja yang melintas mengiringi para wisatawan.


Wedang ronde, salah satu minuman favoritku, bisa ditemukan dengan mudah di pinggir pasar Beringharjo. Minumah jahe berisi moci, kolang-kaling, dan sedikit kacang. Di sini harganya 5000 per porsi, tidak bisa dibilang murah, tapi masih terjangkau lah. Meskipun panas, tapi menyegarkan.


Pas belok ke Taman Budaya Yogyakarta, eh ternyata lagi ada pagelaran seni budaya tradisional. Tampak dua penari sedang bergegas menuju ruang ganti pakai seusai pentas. Aku cuma kebagian satu pentas terakhir, itupun tidak bisa aku nikmati sampai selesai karena sudah terlalu sore.


Sekelompok pemuda menyeberang jalan dari arah Taman Pintar. Sepertinya Taman Pintar ini sudah menjadi salah satu icon wisata pendidikan di Yogyakarta, meskipun baru pertama dibuka tahun 2008.

Dragonfly and Orchid


Menikmati segarnya pagi yang cerah, ditemani capung dan bunga-bunga yang masih menyisakan tetesan hujan tadi malam


25 May 2013

Alan's 6th Birthday


Alan dan Didi sudah tidak sabar menikmati kue tart dalam rangka perayaan ultah Alan yang ke-6. Sebenarnya ultah Alan besok, tapi mumpung keluarga lagi ngumpul, kakeknya menyelenggarakan sekarang.


Alan bersiap-siap berdoa sebelum potong kue. Awalnya dia minta aku yang memimpin doa, tapi aku keberatan dan dialihkan ke mas Andi :)


Sebelum potong kue, Alan diminta sungkem ke para orang tua, dengan mencium mereka. Alan sempat protes, karena dipikirnya dia harus mencium semua tamu yang datang. Padahal dia cuma diminta mencium kakek neneknya saja.


Ah, untung tadi siang aku sempat beli kue lapis di Solo, padahal aku gak tahu kalau bakal ada acara seperti ini. Lumayan jadi ada tambahan hidangan. Hidangan utamanya adalah nasi gurih dengan ayam kampung rebus. Meskipun rasanya ada miripnya dengan nasi uduk, hainan ataupun nasi lemak, tapi bagiku nasi gurih (sego gurih) is the best. Biasanya nasi gurih bisa kunikmati saat ada kenduri atau hajatan di kampung.


Berniat diet, Ester diminta makan sepiring berdua dengan ibunya. Tapi akhirnya, merasa masih lapar, Ester melanjutkan makan di belakang, meskipun hanya dengan nasi gurih :)


Alan dengan penuh semangat membuka kado yang dibawa anaknya Tuti dan Tri. Seperti biasa, Didi ingin langsung meminjam mainan itu, dan sempat terjadi pertengkaran kecil. Namanya juga bocah, mainan baru selalu menyenangkan.


Keluarga dari Karangtanjung datang agak terlambat karena sebelumnya hujan cukup deras. Berkali-kali Didi menelpon mereka dan meminta datang segera.


Acara diakhir dengan bermain kembang api. Lagi-lagi Alan sempat bertengkar dengan Didi, karena Didi ngotot pengen punya jatah kembang api yang banyak, dan membuat Alan emosi. Untung orangtua kedua bocah itu pas ada dan bisa menenangkan kedua anak mereka. Seru juga.

Senja di Situ Parigi - Pondok Aren

Kembali nongkrong di Situ Parigi, pas menjelang matahari terbenam, siapa tahu dapat golden hour yang menakjubkan. Air danau tampak berkurang...