26 May 2013

Assorted Moments in Jogja


Sedang ada pembangunan jalan layang di perempatan Jombor (ringroad utara), katanya ditargetkan selesai sebelum Lebaran. Pembangunan ini membuat terjadi kemacetan, biasanya dari jalur selatan dan timur yang akan ke arah utara. Oh ya, di pojok perempatan juga ada McD, moga saja nantinya tidak menambah kemacetan di sini.

Agenda hari ini adalah jalan-jalan di Jogja, tanpa rencana, tanpa tujuan. Pokoknya jalan aja sekenanya.


Eh ada satu tujuan dink, ke tempat bude di Timoho. Naik TransJogja dari Jombor, aku putuskan untuk turun di Kridosono dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Lumayan, kurang lebih 2 km lah, sambil menikmati suasana Jogja di hari minggu.


... jembatan penghubung dua gedung di UKDW Jogja ....


Di tepi jalan samping Balai Yasa PT KAI, mampir dulu menikmati segelas dawet ayu di bawah rindangnya pohon-pohon tua yang masih asri. Tempat yang nyaman untuk beristirahat di hari Minggu, karena lalu lintas kendaraan juga tidak banyak.


Tampak sekelompok pemuda-pemudi dengan kostum jaman perjuangan, dan sepeda onthelnya, juga baru saja mampir di salah satu gerobak dawet ayu. Wah, dah lama aku pengen punya topi model tentara Jepang itu, sayang gak pernah ketemu toko yang menjualnya.


Masa kecilku tidak bisa terlepas dari pasar ini, Pasar Talok. Waktu kecil aku sering ikut bu de ke pasar ini, belanja dan membeli jajanan. Sekarang sudah direnovasi, lebih rapi dan tidak lagi menutup jalan. Lokasi pasarnya pun digeser lebih ke Timur, jadi lebih dekat dengan rumah bude.


Kalau ada yang merasa angker punya rumah dekat kuburan, tidak demikian dengan keluarga bude di Gendeng, Timoho ini. Rumahnya persis menempel dengan kuburan, bahkan untuk menuju kerumahnya, memakai jalan yang sama dengan jalan menuju kuburan :) Waktu kecil aku suka main di kuburan itu, dan sering mencari recehan dengan membantu para peziarah membersihkan makam mereka.


Terakhir aku datang ke Jogja, lebih dari satu tahun, Saphir Square masih berdiri dengan megah. Aku belum sempat masuk ke mall ini, hanya saja yang kuingat adalah tempat ini menambah titik kemacetan di Jogja, khususnya di jalan Solo. Eh, kok tahu-tahu sekarang dah tutup.


Nah, gapura bergaya Tionghoa ini juga sepertinya baru aku lihat sekarang. Adanya reformasi memungkinkan gapura seperti ini bisa berdiri megah, dan menjadi salah satu icon pariwisata di Jogja. Semoga Jogja semakin menjunjung tinggi tolerani, pluralisme dan selalu berhati nyaman !


Belum lengkap ke Jogja kalau belum ke Malioboro, kurang lebihnya begitulah. Makanya aku juga meluangkan waktu mampir di tempat ini, sekedar mengobati rasa penasaran tentang perkembangan tempat ini. Syukurlah becak dan andong masih eksis, di tengah padatnya kendaraan bermotor dan bis TransJogja yang melintas mengiringi para wisatawan.


Wedang ronde, salah satu minuman favoritku, bisa ditemukan dengan mudah di pinggir pasar Beringharjo. Minumah jahe berisi moci, kolang-kaling, dan sedikit kacang. Di sini harganya 5000 per porsi, tidak bisa dibilang murah, tapi masih terjangkau lah. Meskipun panas, tapi menyegarkan.


Pas belok ke Taman Budaya Yogyakarta, eh ternyata lagi ada pagelaran seni budaya tradisional. Tampak dua penari sedang bergegas menuju ruang ganti pakai seusai pentas. Aku cuma kebagian satu pentas terakhir, itupun tidak bisa aku nikmati sampai selesai karena sudah terlalu sore.


Sekelompok pemuda menyeberang jalan dari arah Taman Pintar. Sepertinya Taman Pintar ini sudah menjadi salah satu icon wisata pendidikan di Yogyakarta, meskipun baru pertama dibuka tahun 2008.

No comments:

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...