I just try to capture an ordinary life --- moments, things, places, peoples, etc. --- with a simple skill
I believe that we can find many interesting things in life, even in a very simple thing.
Showing posts with label Jogja. Show all posts
Showing posts with label Jogja. Show all posts
16 March 2019
Pulang ke Jakarta
Rombongan calon penumpang bersiap saat kereta api yang hendak mereka naiki tiba di St. Tugu Yogyakarta. Malam ini kami juga akan kembali ke Jakarta, yang akan berangkat sekitar jam 9 malam. Dari Gendenk kami diantar keluarga Mas Yanto yang kebetulan dalam perjalanan pulang, tapi resikonya kami datang terlalu awal - sekitar jam 6 malam sudah ada di stasiun.
Sempat makan malam di Loko Cafe (lagi, tapi kali ini yang ada di dalam stasiun) kemudian menunggu di deretan bangku yang penuh dengan calon penumpang. Repotnya, bocah-bocah tidak sabar untuk diam menunggu saja, inginnya selalu bergerak. Agak beruntung ada areal kecil untuk bermain anak, setidaknya 15 menit lebih Fe dan El sempat menghabiskan waktu bermain di sana.
El lebih gak sabaran lagi untuk naik kereta api. Setiap ada kereta datang, dia ingin segera naik. Akibatnya sedikit rewel. Udah gitu El dan Fe sering rebutan sesuatu - tempat duduk, mainan, makanan, dan rebutan minta digendong. Pokoknya gak sabar kalau cuma menunggu.
Kereta datang tepat waktu ... selamat tinggal Jogja, sampai jumpa lagi.
Wisata Sehari : Taman Pintar & Malioboro
Mumpung lagi di Jogja dan ada waktu luang, kami manfaatkan dengan jalan-jalan sebentar di kawasan yang populer - pusat kota Jogja. Diawali dari Taman Pintar, karena seingatku ada banyak tempat bermain yang bakal membuat El senang.
Seperti dugaanku, El sangat antusias di sini. Mutar-mutar di berbagai areal yang ada, seperti tidak ada capeknya. Sempat mencoba naik mobil-mobilan,dengan tiket 12 ribu per orang, tapi ternyata El belum paham mengemudi, sementara orang dewasa dilarang ikutan. Ya sudah, jadinya batal. Untunglah untuk wahana air (naik kapal), justru wajib ditemani orang dewasa - jadi kami bisa berkelana sebentar di atas air, meski dalam cuaca yang lumayan panas terik, tapi senang.
Selain bermain, El bolak-balik minta jajan :)
Sementara Fe juga gak mau ketinggalan. Dia mencoba main ayunan khusus batita, dan juga bermain sebentar di taman. Dia tampak sumringah bermain dan melihat anak-anak lain bermain di sekitarnya. Tapi ya gak bisa lama-lama karena Fe belum bisa jalan, kalau ngesot terus ya kotor.
Dari Taman Pintar kami langsung melaju ke Stasiun Tugu naik becak motor, ongkosnya 15 ribu. Di sini cuma mencetak tiket untuk perjalanan pulang nanti malam dan foto-foto sebentar di loko yang dipajang di depan stasiun sebelah selatan.
... foto bersama saat nongkrong sebentar untuk minum kopi ... bocah-bocah susah untuk diajak wefie.
Pas waktunya makan siang, kami putuskan untuk mencoba Loko Cafe yang persis ada di samping rel kereta api, di ujung Jl. Malioboro. Tempatnya nyaman, makannya lumayan dengan harga turis tentu saja (bukan harga standard masakan di Jogja yang katanya murah). Aku sendiri nyobain mie jawa di sini, tapi rasanya kok kurang akrab di lidah.
Sepanjang jalan Fe tidur dalam gendongan, sementara El masih sempat menikmati jalanan Malioboro, setidaknya sampai mendekati Malioboro Mall. Selanjutnya dia mulai merengek minta gendong. Aku rasa karena dua alasan - kecapekan dan ngambek karena ingin mainan tapi tidak dituruti. Alhasil, hampir separuh perjalanan aku menggendong El, sambil membawa ransel berisi perlengkapan bocah-bocah. Lumayan.
Sekilas, tidak terlihat banyak perubahan di jalan yang menjadi wisata "wajib" di Jogja ini, selain trotoir yang lebih rapi dengan bangku-bangku yang nyaman. Setengah perjalanan mendadak hujan turun cukup deras, padahal sebelumnya panas terik. Sampai di ujung jalan, barulah hujan reda.
Di depan Benteng Vredeburg kami istirahat sebentar sambil menunggu jemputan dari taksi online. Lelah, tapi aku sangat senang dengan keberamaan kami saat ini.
...walau kini engkau telah tiada tak kembalinamun kotamu hadirkan senyummu abadi ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagibila hati mulai sepi dapat terobati ...
Penggalan lagu KLA Project yang membuatku terharu mengingat bapak yang baru saja tiada.
15 March 2019
Selamat Jalan, Bapak!
Di rumah duka RS Bethesda Jogja ini bapak disemayamkan, dan di sini juga dilakukan ibadah pelepasan jenasah sebelum dimakamkan. Ibadah dimulai jam 1 siang karena hari Jumat, supaya tidak bentrok dengan jumatan.
Selain saudara dan kenalan, sebagian besar yang hadir dalam ibadah ini adalah warga gereja GKJ Jatimulyo, dan sebagian besar tidak aku kenal.
Mungkin karena lokasi, jadi tidak terlalu banyak yang hadir, padahal aku yakin kenalan bapak ada banyak, termasuk teman-teman pensiunan dan teman permainan. Apalagi bapak termasuk "aktif" di kampung. Mungkin kalau diadakan di kampung, bakal lebih ramai - melebihi waktu pemakaman ibu tiri. Sebagian tetangga memilih langsung untuk datang ke tempat pemakaman.
Yang menarik dalam kotbah pak pendeta saat itu adalah beliau berusaha menyampaikan kenangan baik tentang bapak, - salah satunya adalah bapak suka memberi pisang ke pak pendeta. Aku tahu, bapak tidak terlalu aktif di gereja tapi masih ada kontak dengan para pelayan dan secara rutin masih ada kunjungan dari pihak gereja.
Sepanjang acara, ibu hanya bisa duduk di kursi roda, karena punggungnya sakit. Kondisinya masih lebih baik karena bisa duduk dan berjalan pelan, tapi tidak bisa berlama-lama. Makanya setelah ibadah ini selesai, ibu memilih pulang, tidak ikut ke pemakaman yang lokasinya cukup jauh.
Terima kasih banyak untuk para majelis dan pelayan di GKJ Jatimulyo yang sudah melayani ibadah pelepasan jenasah bapak, juga dalam ibadah penghiburan semalam.
Mas Yanto mewakili pihak keluarga menyampaikan ucapan terima kasih untuk semua yang hadir atas perhatiannya dan doa-doa bagi kami semua. Semua anak dipanggil ke mimbar. Agak ironis, tapi di saat seperti inilah kami bisa berkumpul. Terakhir kali kami bisa lengkap berkumpul adalah saat kunjungan mereka ke rumahku, waktu El belum ada satu tahun.
Jenasah dibawa dengan ambulan menuju pemakaman di daerah Prambanan, Klaten, lumayan jauh dari pusat kota Jogja - di kampung halaman bapak dan ibu. Perjalanan cukup lama karena jalanan di Jogja lumayan macet, atau merayap, bahkan untuk ambulan pun masih agak tersendat. Kondisi lalin yang padat membuat pak Pendeta tertinggal jauh di belakang, padahal beliau sudah berangkat kurang lebih 15 menit lebih awal, tapi kami harus menunggu hampir setengah jam.
Sebagian besar yang datang di sini, termasuk yang menyiapkan liang kubur, adalah saudara-saudara bapak. Para tetangga dari Mulungan juga datang, katanya berangkat dengan 3 mobil. Selesai pemakaman kami mampir sebentar ke tempat bulik Min, adik bapak yang rumahnya dekat lokasi pemakaman. Beliau sudah menyiapkan hidangan, sengaja untuk menyambut para pelayat.
Selamat jalan bapak, semoga tenang di sana. Setidaknya penderitaanmu sudah berakhir, penyakit yang harus dijalani lebih dari setahun dengan berbagai tekanan, sekarang sudah berlalu.
Meski sedih dengan kepergian beliau, tapi banyak hal yang membuat kami lega. Menjelang akhir hidupnya, bapak bisa berdamai dengan ibu, setelah puluhan tahun berpisah. Meski keras kepala, tapi bapak juga telah sepenuh hati berserah pada Tuhan.
Mie Ayam Goreng
Wow ... itu reaksi pertama waktu lihat kemasan mie ayam yang unik dibungkus pangsit goreng. Memang seperti ini bentuknya, kata Ester, yang menemaniku makan siang. Rasanya mantap, harga mahasiswa hehehe
Mungkin karena jarang pergi-pergi dan jajan di luar, jadi aku kurang begitu paham dengan tren kuliner, apalagi di berbagai daerah.
NB: lokasi di samping RS Bethesda Jogja.
Perhatian Teman Alumni SMA
Empat orang teman SMA satu angkatan pagi-pagi sudah hadir di tempat Mbah Kung disemayamkan. Salah satunya, Ririn, selalu satu kelas denganku sejak kelas 1 hingga 3. Yang lain aku tidak terlalu kenal akrab. Meskipun aku tidak membagikan berita kematian bapakku ini di media sosial atau grup, tapi karena ada teman SMP yang kebetulan kenal dengan kakakku, kemudian menyebarkan ke grup SMP, dan merembet ke grup SMA.
Sayangnya aku tidak bisa menemui mereka karena mereka datang "terlalu" pagi. Kami baru tiba di Jogja jam 6 pagi, dan aku memilih untuk istirahat dulu berdasar pengalaman waktu terakhir mudik. Jadi aku baru datang ke rumah duka sekitar pukul 11, sementara teman-temanku tadi sudah pulang.
Karangan bunga dari rekan-rekan alumni SMA yang sudah diserahkan sejak tadi malam.
Aku benar-benar terharu dengan perhatian mereka, meski aku sendiri termasuk "kuper" saat SMA dan tidak aktif dalam kegiatan alumni selama ini.
16 October 2018
Ke Jakarta Aku Kembali
Baru kali ini aku benar-benar merasa ingin segera meninggalkan Jogja dan kembali ke Jakarta. Selain karena tanggung jawab keluarga, rindu dengan duo bos kecil, juga karena suasana di Jogja (lebih tepatnya di rumah dalam masa berduka) memang kurang menyenangkan. Alasan yang cukup egois sebenarnya.
Semalam aku beli tiket pesawat dari Jogja ke Jakarta lumayan mendadak,dan sempat gagal. Untung pagi harinya aku segera sadar kalau pesanan tiketku dibatalkan dan segera mencari pengganti. Untunglah masih dapat tiket meskipun berangkatnya agak siang dan bukan tiket paling murah. Ya sekali-kali naik Citilink.
Aku berharap bisa melihat gunung Merapi saat lepas landas dari Bandara Adisutjipto ini, dan hampir terwujud karena pesawat berangkat ke arah timur terlebih dulu. Sayangnya meski cuaca cerah, tapi gunung itu tertutup awan. Lagipula aku tidak duduk pas di pinggir jendela, jadi susah juga memotretnya. Tapi pemandangan waktu pesawat berbelok lumayan menarik, bisa menangkap sebagian landskap kota Jogja dari udara.
Sepanjang perjalanan cuaca cerah, langit biru dengan sesekali gumpalan awan putih.
Sampai di Jakarta naik bis Damri biar irit, turun di Lebak Bulus sudah menjelang maghrib. Dari situ naik Go-Jek saja biar lancar, apalagi ini jam sibuk saat orang-orang pulang kerja.
14 October 2018
Mendarat di Jogja
Malam-malam mendadak sudah ada di Jogja, karena pagi ini mendapat kabar duka meninggalnya Eyang Uti (ibu tiri) karena sakit. Cukup mengejutkan mengingat beliau baru sakit sekitar 1-2 minggu, tapi memang kondisi terakhir sudah cukup drop.
Karena tiba di Jogja sudah jam 9 malam, ternyata itu jam terakhir beroperasinya bis TransJogja, aku pikir jam 10 seperti di Jakarta. Berbeda dengan TransJakarta, yang bis terakhir pasti berhenti di perhentian terakhir (sesuai jalur), di Jogja kalau sudah jam 9, bis akan selesai sesuai penumpang terakhir, biasanya tidak sampai penuh. Makanya kali ini aku berhenti di daerah Condong Catur, dan melanjutkan perjalanan pulang dengan Go-Jek, lumayan menghemat daripada harus naik langsung dari bandara.
26 May 2013
Kethek Ogleng
Pas di Taman Budaya Yogyakarta, aku kebagian tontonan Kethek Ogleng, yang dibawakan oleh salah satu grup dari Gunung Kidul. Aku sudah sering mendengar istilah kethek ogleng ini, tapi tidak pernah tahu persis bentuk keseniannya seperti apa. Katanya kesenian ini berasal dari Wonogiri.
Seperti halnya kelompok kesenian tradisional pada umumnya, personil pendukung pertunjukan ini rata-rata sudah tidak muda lagi. Makanya wajar kalau ada kekuatiran kesenian tradional semacam ini akan punah, atau malah diadopsi oleh bangsa lain dan kita harus belajar ke luar negeri untuk tahu. Moga saja gak sampai terjadi.
Beberapa anak remaja mengajak pemeran utama pertunjukan ini untuk berfoto bersama. Mungkin mereka kenal dengan pemerannya, atau mungkin juga mereka hanya wisatawan pada umumnya.
Ah, untunglah pemeran utama pertunjukan ini masih tergolong muda, meskipun tidak terlalu belia. Mbak ini memerankan Rara Tompe, yang merupakan penyamaran dari Dewi Sekartaji :) Di sebelahnya adalah pembawa acara, yang kelihatannya tidak paham bahasa Jawa karena beberapa kali dia tampak kesulitan saat mengucapkan beberapa kata-kata jawa, termasuk saat menyebut nama Kethek Ogleng.
Meskipun aku tidak yakin dengan jalan ceritanya, tapi sepertinya bapak ini memerankan Raden Panji Asmorobangun.
Pertunjukan sudah dimulai, diawali dengan tarian Kethek Ogleng, sang Kera yang merupakan penyamaran dari Panji Asmorobangun, dalam usaha mencari kekasihnya.
... tampak belakang ....
.... Rara Tompe siap-siap beraksi ...
... ada beberapa wisatawan mancanegara yang mampir dan sejenak menyaksikan pertunjukan ini. Aku rasa, pertunjukan tradisional seperti ini sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja oleh wisatawan asing.
Si kethek memanfaatkan pohon beringin di belakang panggung sebagai bagian dari aksinya, karena setting adegan ini memang ditengah hutan.
... dapat close-up lagi ... (mohon dimaafkan kalau foto Roro Tompe terlalu mendominasi)
Sayangnya aku tidak sempat menyaksikan pertunjukan ini sampai selesai. Sudah terlalu sore, dan aku harus segera pulang karena keterbatasan angkutan umum di malam hari. Aku lagi malas pulang naik taksi. Perlu banyak menghemat untuk liburan kali ini.
Assorted Moments in Jogja
Sedang ada pembangunan jalan layang di perempatan Jombor (ringroad utara), katanya ditargetkan selesai sebelum Lebaran. Pembangunan ini membuat terjadi kemacetan, biasanya dari jalur selatan dan timur yang akan ke arah utara. Oh ya, di pojok perempatan juga ada McD, moga saja nantinya tidak menambah kemacetan di sini.
Agenda hari ini adalah jalan-jalan di Jogja, tanpa rencana, tanpa tujuan. Pokoknya jalan aja sekenanya.
Eh ada satu tujuan dink, ke tempat bude di Timoho. Naik TransJogja dari Jombor, aku putuskan untuk turun di Kridosono dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Lumayan, kurang lebih 2 km lah, sambil menikmati suasana Jogja di hari minggu.
... jembatan penghubung dua gedung di UKDW Jogja ....
Di tepi jalan samping Balai Yasa PT KAI, mampir dulu menikmati segelas dawet ayu di bawah rindangnya pohon-pohon tua yang masih asri. Tempat yang nyaman untuk beristirahat di hari Minggu, karena lalu lintas kendaraan juga tidak banyak.
Tampak sekelompok pemuda-pemudi dengan kostum jaman perjuangan, dan sepeda onthelnya, juga baru saja mampir di salah satu gerobak dawet ayu. Wah, dah lama aku pengen punya topi model tentara Jepang itu, sayang gak pernah ketemu toko yang menjualnya.
Masa kecilku tidak bisa terlepas dari pasar ini, Pasar Talok. Waktu kecil aku sering ikut bu de ke pasar ini, belanja dan membeli jajanan. Sekarang sudah direnovasi, lebih rapi dan tidak lagi menutup jalan. Lokasi pasarnya pun digeser lebih ke Timur, jadi lebih dekat dengan rumah bude.
Kalau ada yang merasa angker punya rumah dekat kuburan, tidak demikian dengan keluarga bude di Gendeng, Timoho ini. Rumahnya persis menempel dengan kuburan, bahkan untuk menuju kerumahnya, memakai jalan yang sama dengan jalan menuju kuburan :) Waktu kecil aku suka main di kuburan itu, dan sering mencari recehan dengan membantu para peziarah membersihkan makam mereka.
Terakhir aku datang ke Jogja, lebih dari satu tahun, Saphir Square masih berdiri dengan megah. Aku belum sempat masuk ke mall ini, hanya saja yang kuingat adalah tempat ini menambah titik kemacetan di Jogja, khususnya di jalan Solo. Eh, kok tahu-tahu sekarang dah tutup.
Nah, gapura bergaya Tionghoa ini juga sepertinya baru aku lihat sekarang. Adanya reformasi memungkinkan gapura seperti ini bisa berdiri megah, dan menjadi salah satu icon pariwisata di Jogja. Semoga Jogja semakin menjunjung tinggi tolerani, pluralisme dan selalu berhati nyaman !
Belum lengkap ke Jogja kalau belum ke Malioboro, kurang lebihnya begitulah. Makanya aku juga meluangkan waktu mampir di tempat ini, sekedar mengobati rasa penasaran tentang perkembangan tempat ini. Syukurlah becak dan andong masih eksis, di tengah padatnya kendaraan bermotor dan bis TransJogja yang melintas mengiringi para wisatawan.
Wedang ronde, salah satu minuman favoritku, bisa ditemukan dengan mudah di pinggir pasar Beringharjo. Minumah jahe berisi moci, kolang-kaling, dan sedikit kacang. Di sini harganya 5000 per porsi, tidak bisa dibilang murah, tapi masih terjangkau lah. Meskipun panas, tapi menyegarkan.
Pas belok ke Taman Budaya Yogyakarta, eh ternyata lagi ada pagelaran seni budaya tradisional. Tampak dua penari sedang bergegas menuju ruang ganti pakai seusai pentas. Aku cuma kebagian satu pentas terakhir, itupun tidak bisa aku nikmati sampai selesai karena sudah terlalu sore.
Sekelompok pemuda menyeberang jalan dari arah Taman Pintar. Sepertinya Taman Pintar ini sudah menjadi salah satu icon wisata pendidikan di Yogyakarta, meskipun baru pertama dibuka tahun 2008.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Bintaro View From Gramedia Building
Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...

-
Patung khas suku Asmat (kalau gak salah) terlihat berdiri kokoh dari gerbang keberangkatan terminal 2D bandara Soekarno Hatta Cengkaren...
-
Pagi ini perlu menjadi saksi dalam sidang perceraian kakakku di daerah Cibinong, dan biar hemat aku putuskan naik kereta api. Sebenarnya ...
-
Sejak tinggal di Cikarang hampir 10 tahun lalu, aku sudah sering mendengar tentang kawasan Sentul, tapi baru kali ini sempat mampir. Rup...