26 February 2018

Merapikan Taman Depan Rumah


Pagi itu ada pedagang bunga keliling kebetulan lewat depan rumah. Aku tidak ingat apakah mereka sebelumnya pernah berkeliling di sini atau belum, karena memang ada beberapa kali penjual bunga tampak berkeliling di perumahan. Karena aku lagi pengen nambah koleksi tanaman, jadi aku sapa mereka.

"Bunganya berapaan, Mang?" tanyaku.
"Tiga ribu satu iket", jawabnya sambil menunjukkan satu iket bunga yang aku tidak tahu namanya itu. "Udah sini beli bunganya saja, saya rapikan tamannya."
"Emang butuh berapa banyak kira-kira? Sampai sepuluh iket gak?", tanyaku lagi. Soalnya ini diluar anggaran dan dana di akhir bulan ini sudah sangat mepet.
"Kalau sepuluh mah lebih atuh, Pak", jawabnya.

Nah, di sinilah terjadi kesalahpahaman. Aku pikir, gak bakal butuh sampai 10 iket. Hitung-hitung kalau cuma 30 ribu sih, gak masalah, pikirku.



Mulailah tukang taman ini bekerja, merapikan tamanku yang super mungil. Rupanya ada satu lagi temannya, jadi mereka bekerja berdua. Awalnya taman dibersihkan dari semua tanaman dan rumput yang ada dan tanahnya digemburkan. Barulah mereka mulai menanam tanaman itu.

Saat bunga-bunga mulai diambil dan dilepaskan ikatannya, aku mulai cemas. Lha kok yang diambil banyak banget. Apalagi mereka menanam bunga itu dalam jarak rapat. Pikirku tanaman ini nanti bakal tumbuh tinggi dan melebar, seperti rumput jepang misalnya, jadi cukup ditanam renggang-renggang saja. Ternyata tidak. Katanya tanaman ini tidak akan tumbuh terlalu tinggi, paling nambah 10 cm saja.



Waduh, ternyata yang dibutuhkan banyak sekali.

Saat pekerjaan sudah hampir  selesai, aku minta agar jumlah tanaman dihitung dulu. Rupanya hampir 200 ikat ... wah, bisa bangkrut lah ... 600 ribu untuk taman seperti ini saja. Ternyata maksud dari ucapan si Mamang tadi adalah, kalau 10 iket ya kurang, pasti butuh lebih banyak. Jiah ...

Akhirnya aku bilang jujur apa adanya kalau duitku terbatas. Anggaran yang tersedia hanya 150 ribu, itupun sudah sangat berat hati aku keluarkan. Aku minta agar tanaman yang sudah ditanam diambil lagi saja, toh aku yakin masih bisa dijual lagi. Sisakan secukupnya saja sesuai dana yang aku punya.


Si Mamang menolak dengan alasan bakal tampak jelek nanti tamannya. Seperti  ini sudah bagus, jadi gak perlu dikurangi lagi. Dia mencoba menawar, anggap saja ongkos borongan, harga per tanaman didiskon,dsb. Mulai dari angka 400 ribu, 300 ribu, hingga 200 ribu. Aku tetap menolak. Lha memang uang di dompetku cuma segitu, kalaupun ada duit di ATM, itu bakal dipakai untuk kebutuhan hingga gajian beberapa hari lagi.

Aku sebenarnya paling malas untuk menawar, apalagi saat membeli barang dari pedagang dengan modal kecil seperti ini. Tapi kali ini aku terpaksa ngotot. Bukan nawar sebenarnya, tapi aku hanya mampu membeli barang sesuai dana yang aku punya. Tapi karena si penjual ngotot tidak mau "mengambil" lagi dagangannya, ya ini jadi terkesan aku manawar habis-habisan. Bayangkan, dari 600 ribu jadi 150 ribu. Sebenarnya aku merasa bersalah.

Akhirnya si Mamang mengalah dan pasrah dengan bayaran 150 ribu. Sebelum pamit, temannya bertanya apakah aku punya baju-baju bekas yang tidak dipakai lagi. Wah, kebetulan. Ada baju-baju bekas milik istriku yang sudah lama aku kumpulkan, aku simpan dalam satu tas ransel penuh. Sedianya barang itu mau aku kasih ke pemulung dekat rumah, tapi belum sempat. Segera aku ambil tas ransel berisi baju bekas itu dan aku serahkan ke mereka. Aku yakin di dalamnya ada lebih dari 20 potong baju bekas yang masih layak pakai. Sebenarnya masih banyak lagi baju-baju bekas, tapi harus dicari dulu, gak keburu.

Baju-baju bekas yang aku berikan itu setidaknya bisa sedikit mengurangi rasa bersalahku.

No comments:

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...