23 September 2009

Indonesian Manga : Garudayana, Morte & Stengah Dua

Sepertinya dunia cergam di tanah air sudah mulai menggeliat. Beberapa tahun lalu aku nemuin manga buatan lokal, tapi kok masih kurang menarik, dari segi gambar maupun cerita. Namun belakangan ada kabar cukup gencar tentang mulai maraknya produksi cergam lokal, ada yang mencoba mempertahankan gaya cergam khas Indonesia, ada juga yang mengadopsi gaya manga Jepang, ada juga yang mencoba membuat gaya tersendiri.

Sudah cukup lama aku pengen mencoba menyimak cergam lokal, sekedar pengen tahu sejauh mana perkembangan cergam Indonesia. Hari ini kebetulan di Gramed nemuin beberapa cergam lokal.



Garudayana karya Is Yuniarto. Cergam ini menurutku merupakan visualisasi wayang dalam gaya manga. Tidak hanya ceritanya diambil dari cerita pewayangan, namun asesoris tokoh serta atribut-atribut yang ada juga menggunakan corak seperti dunia pewayangan, yang selama ini belum pernah kutemukan dalam manga (mungkin manga yang kubaca masih terbatas juga). Namun berbeda dengan cergam wayang karya R.A. Kosasih, karakter yang ditampilkan mengadopsi gaya karakter manga, seperti dalam bentuk wajah dan (terutama) gaya rambut.

Buatku cergam ini sangat menarik, berhubung aku menyukai manga dan cerita pewayangan. Klop! Dengan kemasan ini, cerita wayang jadi tidak berkesan cerita jadul.



Cergam Morte karya Ekyu ini bisa dibilang 100% manga, IMHO. Selain gaya bahasa, bisa dibilang tidak ada nuansa lokal, apalagi settingnya juga di luar negeri, dengan nama-nama asing juga. Secara gambar, sepertinya ini termasuk komik cewe (shoujo manga), sementara ceritanya sedikit menyerempet cerita misteri, dengan ending yang sepertinya sengaja dibuat nggantung. Meskipun demikian, secara umum kisahnya menarik, dengan konflik keluarga yang cukup menarik.



Nah, kalau komik yang satu ini, Stengah Dua karya Valentino, tergolong unik buatku, khususnya dalam penggambarannya. Entah cergam ini masuk genre apa, karena aku belum pernah membaca cergam/manga dengan gaya gambar seperti ini. Seperti terlihat pada covernya, warna hitam cukup mendominasi gambar-gambar di tiap halaman. Bahkan ada halaman yang dilukiskan dengan gaya negatif film. Sepertinya cergam ini memanfaatkan Computer Graphics dalam pengerjaannya.

Penulisan dialognya juga berbeda dengan cergam pada umumnya yang menggunakan callout , dialog di sini sering ditulis seperti dialog dalam script drama. Di covernya sih tercantum tulisan "artbook & graphic novel". Mungkin cergam ini lebih ingin menunjukkan sebagai novel bergambar.

Makin menarik sepertinya perkembangan cergam Indonesia. Maju terus! Moga aja bisa lebih berkembang, seperti musik dan film Indonesia yang mulai enak dinikmati.

1 comment:

Anonymous said...

Sangat disayangkan sekali bila ternyata para publisher terkemuka di Indonesia lebih memilih mempublikasikan komik2 dari jepang dengan membeli murah hak produksinya dan menjualnya kembali secara masif di pasar lokal daripada mendukung karya2 lokal dengan cara2 yang bersahabat.

Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...