I just try to capture an ordinary life --- moments, things, places, peoples, etc. --- with a simple skill
I believe that we can find many interesting things in life, even in a very simple thing.
21 April 2018
Sejenak Melepas Rindu
Matahari baru saja menyapa bandara Adisucipto, Yogyakarta, menerpa tanah bandara yang masih tampak basah. Udara sejuk menyambut para penumpang pesawat yang datang tepat waktu dari Jakarta.
Sudah hampir 5 tahun aku gak pulang kampung, di Mlati, Sleman, Yogyakarta. Istriku cukup sibuk kerja dan punya waktu mudik hanya akhir tahun, dan aku memilih mengalah untuk selalu liburan di kota istriku. Kali ini aku sempatkan untuk berkunjung ke kota ini, menjenguk bapak yang sakit keras. Bawaanku tidak banyak karena nanti malam aku sudah kembali ke Jakarta.
Meski sekarang taksi online sudah ada di kota ini juga, aku memilih memakai angkutan umum saja. Dari bandara naik TransJogja, melewati tengah kota. Mumpung masih pagi, jalanan masih sangat lancar dan penumpang juga sepi, lumayan sedikit melihat-lihat tengah kota, sedikit mengobati rindu.
TransJogja hanya sampai Terminal Jombor dan dari sana aku harus ganti dengan angkutan Jogja-Tempel. Sudah lama angkutan ini gak pakai kondektur, sepertinya penumpang mulai berkurang jadi harus menghemat.
Aku sengaja tidak langsung ke rumah, tapi menuju Pasar Denggung. Tidak ada yang istimewa dengan pasar ini, tapi aku ingin menikmati sedikit jajanan pasar tradisional. Di sini jajanan bisa aku beli dengan harga lebih murah dibanding yang dijual di Jakarta. Tapi aku gak sampai borong, lha wong yang makan paling aku sendiri, ya ga akan sanggup. Dari pasar ini aku cukup jalan kaki sampai rumah.
Sudah lama juga aku gak baca koran edisi cetak. Dulu sempat beberapa kali beli koran Kompas edisi hari Sabtu yang lebih padat isinya, ternyata hanya sempat baca halaman depan+belakang dan judul-judul berita. Selain masalah waktu, dan lebih banyak waktu tersita di gadget, gangguan dari para kucing dan juga El menjadi alasan lain. Sejak itu aku malas beli koran cetak. Sementara bapakku, yang tidak kenal dengan dunia digital, masih setia berlangganan koran. Menikmati pagi di lereng Merapi sambil baca koran di teras adalah suatu kemewahan, sayangnya suasananya agak kurang mendukung karena kondisi bapak yang cukup menyedihkan. Kadang ada juga tetangga yang sengaja berkunjung ke rumah sekedar untuk membaca koran, dan ngobrol tentu saja.
Selain adanya beberapa (banyak) bangunan baru di kampungku ini, satu perubahan yang tampak mencolok adalah pembatas di tengah jalan raya ini. Keberadaannya memisahkan jalan raya yang cukup lebar ini, jalan raya yang seringkali padat oleh kendaraan yang melaju kencang karena jalanan lancar. Adanya pemisah ini sedikit banyak bisa membuat tertib, karena masing-masing sisi jadi hanya satu arah. Konsekuensinya, mempersulit kendaraan yang hendak menyeberang jalan, dan sepertinya fasilitas untuk berbalik arah jaraknya lumayan jauh. Bagi penyeberang jalan, ini jelas menguntungkan karena lebih memudahkan. Dulu aku sering sulit menyeberang karena luasnya jalan serta laju kendaraan yang kencang, jadi harus extra hati-hati.
Soal sakitnya bapak, sebenarnya sudah dimulai lebih dari setahun lalu, sejak beliau pulang dari Jakarta menjenguk El. Fisik yang mulai lemah ditambah beban mental karena kondisi kakakku membuat daya tahan tubuhnya melemah. Mulai muncul berbagai penyakit dan kali ini yang cukup berat adalah TBC kelenjar, persis seperti yang pernah aku alami. Ada benjolan di ketiak bapak dan setelah dioperasi baru ketahuan kalau itu TBC. Bapakku bukan perokok, tapi tentu saja bergaul dengan para perokok. Masalahnya, setelah operasi itu mulai diketahui ada beberapa masalah lain, jadinya komplikasi - termasuk beberapa organ dalam. Hal ini diperparah dengan kondisi emosi bapak yang jadi tidak stabil, enggan makan ataupun minum obat.
Bapak yang saat terakhir ketemu masih tampak gagah meskipun tidak kuat jalan jauh, kali ini tampak kurus kering. Karena jarang makan, tidak cukup tenaga yang dia miliki untuk berjalan dari kamar ke kamar. Meski demikian, aku berusaha untuk tetap positif, tidak ingin menunjukkan wajah sedih saat berbincang dengannya.
Sore hari semua anaknya berkumpul di rumah, meski tidak lama. Kami sempat makan bersama dan ngobrol bersama. Sebenarnya kami ingin menyampaikan kabar yang kami terima dari dokter, tapi akhirnya batal karena kuatir kalau bapak tidak siap dan malah makin membuat mentalnya jatuh. Jadi pertemuan ini hanya kumpul keluarga saja, pertemuan santai.
Aku pulang dengan pesawat yang sama waktu berangkat - Lion Air, jadwalnya sih jam 9.30 malam. Kali ini aku pergi ke bandara naik Gojek biar lancar. Saat check-in, jam keberangkatan sudah berubah jadi jam 10 malam. Sudah kuduga, pasti ada delay. Btw, hampir saja kardus yang berisi oleh-oleh tertinggal di bandara. Aku sempat lupa kalau bawaanku ada yang lain selain jaket dan tas ransel. Untung hanya tertinggal di pos periksaan / scanner, dan lagi gak butuh waktu lama sebelum aku sadar ada yang tertinggal.
Saat menunggu keberangkatan ke Jakarta, aku dengar ada pengumuman tentang tertundanya penerbangan Garuda yang menuju Jakarta, juga di jam yang sama. Sebelumnya aku hampir memilih penerbangan ini mengingat selisih harga yang tidak terlalu besar, cuma sekitar 200 ribu. Tapi akhirnya aku tetap milih yang termurah - penghematan 100ribu pun sangat berarti kali ini.
Makanya aku senyum-senyum saja, nyinyir dalam hati, waktu mendengar info keterlambatan yang dialami penumpang Garuda. Apalagi di majalah terbaru Lion Air, ada disebutkan bahwa peringkat Lion setingkat di atas Garuda soal ketepatan waktu. Tapi nyinyiranku terhenti seketika, saat ada pengumuman susulan. Kali ini dari pihak Lion menyampaikan permintaan maaf karena adanya keterlambatan 1.5 jam! Waahhhh ... Jadi bakal berangkat jam setengah 12 malah. Ternyata masih payah. Sebagai kompensasi dapat jajanan seperti ini - ini sih jajanan anak sekolah.
Gara-gara keterlambatan itu, sudah tidak ada lagi bis damri ataupun travel dari bandara. Mau naik taksi masih ragu-ragu. Akhirnya naik omprengan, patungan berdua dengan orang yang tujuannya Ciputat. Lumayan juga sih, selain ada teman jalan, ongkos juga lebih hemat - cuma kena 100 ribu per orang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bintaro View From Gramedia Building
Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...
-
Patung khas suku Asmat (kalau gak salah) terlihat berdiri kokoh dari gerbang keberangkatan terminal 2D bandara Soekarno Hatta Cengkaren...
-
Sebuah gedung gereja megah terlihat dari Jalan Tanjung Duren Barat, merupakan gedung gereja HKBP Tomang Barat di Jalan Mangga Jakarta ...
-
Pagi ini perlu menjadi saksi dalam sidang perceraian kakakku di daerah Cibinong, dan biar hemat aku putuskan naik kereta api. Sebenarnya ...
No comments:
Post a Comment