23 December 2018

Penyerahan Anak El & Fe


Berangkat ke gereja pagi ini, Eyang Kakung sudah bisa berjalan sendiri tanpa menggunakan kursi roda, meski perlahan. Perkembangan yang cukup menggembirakan, karena artinya beliau bisa ikutan jalan-jalan meskipun tidak boleh terlalu melelahkan.


Hari ini dilakukan acara pemberkatan penyerahan anak untuk El dan Fe sekaligus, mengingat di GBI tidak mengenal adanya baptis anak. Seharusnya untuk El dijadwalkan tahun lalu, tapi gagal total karena dia sama sekali tidak mau masuk ke dalam gereja, dan memilih berkeliaran di luar. Kali ini, mungkin memang sudah waktunya, dia mau masuk ke gereja, meskipun dengan alasan bermain. Kebetulan ada anak yang membawa mainan yang menarik perhatian El, sehingga El sempat cukup lama betah di dalam gedung. Saat namanya dipanggil, aku segera menggendongnya dan dia tidak terlalu memberontak - meskipun harus dengan "tumbal" membawa mainan temannya itu. Untung sang anak rela meminjamkan mainannya, dengan sedikit paksaan dari orangtuanya yang pengertian.

Saat didoakan oleh Pak Pdt. Yosia, El anteng aja dalam gendongan, sementara Fe penasaran ingin menarik-narik tangan pak pendeta hehehe.

Semoga kalian berdua nanti bisa jadi saluran berkat yang luar biasa bagi Tuhan, memancarkan kasih dan cahaya Kristus sepanjang hidup kalian, mencintai Tuhan dan selalu hidup dalam pengenalan dan kasih Tuhan.


Selesai acara pemberkatan itu, El langsung beranjak keluar gereja. Sempat nimbrung sebentar di kumpulan anak-anak sekolah minggu yang sedang asyik makan es krim. Selanjutnya El minta jajan - baik mainan atau makanan - yang dijual di sekitar gereja.


Selamat hari Minggu!

PS: ini satu-satunya aktivitas luar ruangan bersama-sama dalam liburan kali ini. Setelah ini, kami semua "tumbang" dan menghabiskan liburan di rumah saja.

22 December 2018

Tidak Sabar Menunggu Kereta


El tanpak gelisah setiap kali ada kereta api yang lewat, dan berhenti di St. Gambir. Dia sudah sangat tidak sabar ingin naik kereta, sehingga setiap ada kereta berhenti ingin dimasuki. Dari posisi berdiri, duduk, ngesot hingga guling-guling saking ingin segera masuk kereta, dikasih tahu tidak mau mengerti juga.


Meski sudah memasuki masa liburan, tapi tidak terlalu tampak kepadatan di St. Gambir, seperti yang terlihat di ruang tunggu paling atas ini. Meski demikian, tiket kereta sudah terjual ludes. Bahkan saat masih menunggu di loby, aku sempat ketemu Rouf, teman SMA yang akan pergi ke Jogja dengan kereta yang sama dengan kereta yang aku pakai ke Kediri - yang jelas harganya lebih mahal ketimbang tiket kereta Jakarta - Jogja. Sayangnya aku gak sempat ngobrol banyak dengan temanku itu, padahal sudah cukup lama tidak bertemu. Aku di gerbong 8, sementara dia ada di gerbong 3. Agak sulit buatku bepergian karena harus mengawasi dua bocah.


Ini pertama kali bagi Fe untuk bepergian dengan kereta api - terutama bepergian dari jarak jauh. Aku sempat kuatir kalau dia bakal seperti El dulu ... tidak mau diem, pengennya diajak jalan-jalan terus, apalagi mengingat Fe juga sudah bisa merangkak. Untunglah justru sepanjang jalan Fe tampak sangat anteng, nyaman saja dipangku istriku sepanjang perjalanan.


Sementara El? Masih tidak bisa duduk diam di bangkunya. Meskipun tidak separah dua perjalanan sebelumnya, tapi El tetap ingin mondar-mandir jalan-jalan sepanjang gerbong, ingin bermain dengan anak-anak kecil yang ada di gerbong yang sama.Masalahnya,El punya kecenderungan "mengambil" mainan dari teman-temannya itu, yang tidak semuanya rela memberinya pinjaman. Sempat dia meminjam mobil mainan, dan terpaksa aku ambil paksa karena pemiliknya menangis :D

Ada satu insiden lumayan memalukan saat El bermain sendiri di bangku kereta. Aku sengaja tidak mengawasinya terlalu ketat, karena paham kemampuan dan kegemerannya, jadi aku awasi saja dari bangku sebelah. Pas dia berdiri di bangku, mungkin karena ada gerakan kereta yang berguncang mendadak, tahu-tahu El terjengkang ke belakang, jatuh di lantai kereta. Penumpang lain terkejut, mungkin was-was. Aku tenang saja, bergegas menggendongnya dan meletakkannya di pangkuanku sambil mengusap-usap kepalanya. El sempat menangis sebentar, tapi segera dia melupakan kejadian itu, dan kembali bermain seperti sebelumnya. Kapok? Tentu tidak.

Sebelum kereta sampai di Jogja, kedua bocah itu sudah tidur.

11 December 2018

Simbah Kangen Cucu Perempuannya


Suatu sore, mendadak dapat kabar mengejutkan dari ponselnya ibuku - dari rumah sakit mengabarkan kalau simbah masuk UGD. Walah ... bukan kali pertama, tapi tetap saja mengejutkan.

Dua hari lalu simbah memang secara mendadak mengatakan kalau ingin ke Jakarta, dan ternyata persiapan sudah dilakukan dan dia pergi cukup mendadak dari Jogja. Kakakku yang mencoba menghubungi pihak bis malam ternyata terlambat karena ibu sudah berangkat. Ya sudah, kami anak-anaknya cuma bisa pasrah.

Pagi ini sebenarnya aku ingin menemui simbah di gereja, tapi kondisi kurang memungkinkan, agak repot menjaga El dan Fe, jadi aku putuskan untuk menunggu saja. Ternyata dugaanku benar, ibu memang akan datang ke rumahku. Hanya saja, dalam perjalanan dia terjatuh di dalam angkot, kepalanya membentur sesuatu dan berdarah cukup banyak. Supir angkot cukup sigap dan baik hati segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Ibu mendapat 7 jahitan di dahi, tapi ya cuma itu, tidak ada masalah lain yang mengkhawatirkan. Malam itu juga ibu bisa pulang.


Aku bisa memahami betapa besar keinginan ibu untuk pergi ke Jakarta. Bosan terus-menerus di rumah, sementara biasanya beraktivitas. Rindu ingin bertemu dengan cucunya paling kecil yang belum pernah ditemui sejak lahir hingga hampir 9 bulan. Tapi alasan utama yang aku lihat adalah beliau ingin menambah pendapatan dengan berjualan di gereja, agar bisa membantu biaya perawatan bapakku.

Meski hanya sebentar dan jarang bisa bermain bersama cucunya, simbah tampak senang.

26 November 2018

Rambutan Tetangga


Ada satu pohon rambutan milik tetangga (pak Kino) yang dahannya sudah sangat rendah dah sebenarnya mengganggu kendaraan yang melintas di bawahnya. Tapi sepertinya dahannya tidak segera dipangkas karena pohon rambutan itu sedang berbuah lebat.

Iseng-iseng aku lempar wacana soal rambutan ini, dan pemilik rumah merespon dengan memberi ijin siapa saja yang ingin mengambilnya, silakan, bebas karena toh ada di luar pekarangan rumah. Mantap!


Jadi tiap aku lewat depan rumahnya untuk jalan-jalan dengan bocah, baik El atau Fe, aku selalu sempatkan mengambil buah rambutan yang rasanya manis dan nglothok ini. Tentu tidak bisa sampai berkarung-karung, paling 1-2 genggam saja. Sebenarnya aku pengen ngajak tetangga sekitar untuk memetik ramai-ramai, tapi herannya seperti tidak banyak yang berminat. Anak-anak kecil di kompleks juga tampaknya tidak "beringas" soal rambutan ini.

Padahal kalau aku ingat di kampung dulu, rambutan ini gak akan bertahan semalam hehehe ... bisa langsung ludes saat anak-anak bermain.

PS: seminggu setelahnya, barulah dahan pohon rambutan ini dipotong sekaligus panen rambutan. Sayangnya waktu itu aku sedang ribet, jadi justru gak bisa ikutan panen.

14 November 2018

Hati-hati Menyeberang Jalan


Ketemu lagi dengan makhluk ijo ginuk-ginuk ini, kali ini pas bukan lagi makan daun, tapi lagi menyeberang jalan :)


Hati-hati ya Lat!

11 November 2018

Mencoba Moka Pot


Setelah mencoba membuat ngopi dengan Vietnamese Drip, sekarang coba-coba bikin kopi dengan moka pot. Pesen yang murah saja dan di deskripsi produknya tertulis kapasitasnya 4 cup espresso. Angan-anganku,bisa buat ngopi bareng-bareng sekali masak, tidak seperti alat drip yang hanya cukup untuk satu cangkir kecil.


Ternyata eh ternyata, pada kenyataannya hanya tidakcukup juga untuk memenuhi satu cangkir kecil (200 ml). Sepertinya definisih cup yang dimaksud di sini berbeda dengan cup yang aku pahami. Tapi memang kalau baca-baca (dan nonton di tivi), espresso cup itu ya cuma kecil sekali teguk, mungkin sekitar 50 ml. Jadinya ya cukup untuk satu porsi kopi saja buatku.


Meskipun moka pot ini dimaksud untuk membuat kopi espresso, tapi karena tekanan yang mampu dilakukan dalam alat ini tidak sebesar alat press yang biasa dipakai untuk buat mesin espresso, hasilnya tidak "setajam" espresso. Gak masalah juga buatku, sudah cukup.


Salah satu yang aku sukai dengan kopi yang dibuat dengan moka pot ini adalah hasilnya sudah bersih tanpa ampas, tanpa harus pakai saringan. Selain itu proses memasak air juga sudah sekaligus, meskipun kadang masih perlu memasak air sedikit lagi karena hasilnya kurang banyak, dan terlalu pahit kalau tidak ditambah air putih lagi.


Karena kopinya dihasilkan langsung saat direbus, tidak seperti kalau pakai Vietnamese Drip, hasilnya tidak perlu menunggu lama dan kopinya masih panas. Oh ya, untuk membuat kopi dengan alat ini bubuk kopinya harus digiling sedang - sama dengan kalau mau pakai Vietnamese Drip. Jadi bubuk kopi untuk membuat kopi dengan V-Drip juga sama untuk memakai moka pot.

Sudah ngopi belum?

16 October 2018

Ke Jakarta Aku Kembali


Baru kali ini aku benar-benar merasa ingin segera meninggalkan Jogja dan kembali ke Jakarta. Selain karena tanggung jawab keluarga, rindu dengan duo bos kecil, juga karena suasana di Jogja (lebih tepatnya di rumah dalam masa berduka) memang kurang menyenangkan. Alasan yang cukup egois sebenarnya.


Semalam aku beli tiket pesawat dari Jogja ke Jakarta lumayan mendadak,dan sempat gagal. Untung pagi harinya aku segera sadar kalau pesanan tiketku dibatalkan dan segera mencari pengganti. Untunglah masih dapat tiket meskipun berangkatnya agak siang dan bukan tiket paling murah. Ya sekali-kali naik Citilink.


Aku berharap bisa melihat gunung Merapi saat lepas landas dari Bandara Adisutjipto ini, dan hampir terwujud karena pesawat berangkat ke arah timur terlebih dulu. Sayangnya meski cuaca cerah, tapi gunung itu tertutup awan. Lagipula aku tidak duduk pas di pinggir jendela, jadi susah juga memotretnya. Tapi pemandangan waktu pesawat berbelok lumayan menarik, bisa menangkap sebagian landskap kota Jogja dari udara.


Sepanjang perjalanan cuaca cerah, langit biru dengan sesekali gumpalan awan putih.

Sampai di Jakarta naik bis Damri biar irit, turun di Lebak Bulus sudah menjelang maghrib. Dari situ naik Go-Jek saja biar lancar, apalagi ini jam sibuk saat orang-orang pulang kerja.

15 October 2018

Bersama Keluarga Simak


Mumpung lagi di Jogja, aku sempatkan untuk mampir ke rumah Simak di Gendeng, Gondokusuman, Jogja. Simak adalah kakak dari ibuku, jadi seharusnya aku memanggil budhe, tapi panggilan Simak sudah begitu melekat di keluarga.


Kondisi Simak sempat merosot karena terkena stroke akibat tekanan darah tinggi yang dimilikinya. Jadi sempat mengalami semacam amnesia, tapi setelah terapi sekarang sudah membaik. Sudah mulai bisa mengingat nama-nama saudara, dan juga bisa bicara meskipun tidak lagi secerewet dahulu.


Ini waktu makan-makan bareng Mas Yanto dan Mbak Retno, kedua anak bungsu Simak di RM Murah-Meriah, seusai pemakaman. Acara seperti ini lumayan bisa menjadi ajang reuni keluarga, mengingat masing-masing punya kesibukan dan tinggal terpencar-pencar.

Selamat jalan, mbah Uti


Meski namanya Sutarti, tapi kami dulu lebih mengenalnya sebagai mbak Tarti atau mbak Tik. Belakangan, pihak keluarga lebih sering memanggil beliau dengan sebutan Uti atau mbah Uti, - sementara bapakku dipanggil mbah Kakung. Beliau adalah ibu tiriku, yang sudah ikut merawatku sejak aku berumur sekitar 10 tahun.

Kemarin beliau meninggal, setelah menderita sakit kurang dari sebulan. Cukup mendadak, tapi langsung parah dan kondisi fisiknya menurun cukup drastis.


Aku cukup kaget juga karena ada teman-teman SMP yang ikut melayat, salah satunya Tuti Maryatun (yang suaminya kebetulan juga teman sekolah kakakku). Adanya silaturahmi di media sosial cukup berperan dalam memberitakan informasi ini. Aku sendiri sengaja tidak mengirim kabar ini ke linimasaku, tapi ternyata ada teman yang tahu dan menyampaikan ke group alumni. Lebih terkejut lagi saat ada karangan bunga dari keluarga KATY'96 yang disampaikan oleh mas Sengut yang rumahnya memang tidak terlalu jauh dari lokasi.


Karena aku jarang pulang kampung, banyak wajah-wajah yang datang melayat yang tidak aku kenal. Aku masih ingat beberapa nama saudara dekat (dan beberapa tetangga), tapi sebagian besar sudah tidak dapat kukenali. Bahkan ada saudara dari Surabaya yang waktu kecil sering main bersama, aku baru menyadari mereka saat mereka sudah hampir pulang.





Beliau dimakamkan di pemakaman desa tidak jauh dari rumah, di samping orang tua dan saudara-saudara yang lain. Aku sendiri malah sudah lupa lokasi pemakaman kampung itu, jadi sempat kaget karena lokasinya sebenarnya tidak jauh dari jalan raya.

Mengikuti iring-iringan jenasah ini membuatku teringat saat kecil dulu sering ikut mengantar jenasah ke pemakaman bersama teman-teman kecil, bukan karena bela sungkawa, tapi karena ingin mengambil uang receh  yang disebar sepanjang jalan. Dulu pecahannya hanya 5 atau 10 rupiah, kalau beruntung bisa dapat 25 rupiah, tapi sudah sangat senang. Entah apakah tradisi menyebar uang receh ini masih dilakukan atau tidak, tapi yang jelas tidak ada lagi rombongan anak-anak kecil yang tampak mengikuti iringan jenasah.


Ada sedikit keunikan dari pemakaman mbah Uti ini. Atas informasi pihak keluarganya (yang selama ini merawat beliau saat sakit), katanya beliau ingin dimakamkan secara Islam, agar ada yang "nyelametin". Padahal sudah sejak tiga hari sebelum kepergiannya, mbah Uti sudah sulit berkomunikasi. Pihak keluarga kami tidak masalah, toh bagi kami cara pemakaman bukan hal yang utama, yang penting adalah saat beliau masih hidup.

Sebenarnya sekitar setahun sebelumnya, mbah Uti sudah memberi diri untuk dibaptis, dan pembaptisan dilakukan di GKJ. Waktu itu baik mbah Kakung maupun mbah Uti masih sehat. Makanya malam sebelumnya dari pihak gereja tetap mengadakan ibadah untuk melepas kepergian mbah Uti.

Selamat jalan, mbah Uti. Terima kasih untuk semua yang telah dilakukan selama ini.

Pagi Yang Biasa


Sekelompok burung pipit bertengger di kabel listrik yang membentang di areal persawahan, sepertinya menunggu kesempatan untuk mencari makan di sawah yang sudah hampir siap panen, tapi sedang ditunggu oleh petani.



Berniat menikmati cemlan yang aku beli di Pasar Denggung, tampak seekor kucing sedang bermain dengan tikus kecil. Tampaknya sih dia tidak berniat menjadikannya sebagai santapan, hanya sebagai mainan - meski akhirnya tetap saja tikus kecil itu mati juga.


Pagi ini cerah, meskipun semalam tidur cukup larut, tapi aku bisa bangun pagi karena kondisi rumah memang sedang sibuk. Mumpung belum terlalu ramai, aku putuskan jalan-jalan sebentar menikmati sejuknya udara di kaki Gunung Merapi ini.


Sungai tempat bermain di masa kecilku dulu, sudah berubah tapi tidak terlalu drastis, masih ada sisa-sisa yang bisa dikenang. Setidaknya sekitar sungai belum berubah fungsi menjadi bangunan beton. Btw, sungai diberi sekat-sekat seperti bendungan, entah untuk tujuan apa. Yang jelas di sini dulu kami sering berenang karena sungainya cukup dalam, apalagi untuk ukuran anak-anak sekolah dasar.

Sekarang sudah jarang terlihat ada yang memanfaatkan sungai ini untuk mandi atau mencuci. Di seberang jalan dari sungai ini, areal persawahan sudah diuruk dan dijadikan deretan ruko.

14 October 2018

Mendarat di Jogja


Malam-malam mendadak sudah ada di Jogja, karena pagi ini mendapat kabar duka meninggalnya Eyang Uti (ibu tiri) karena sakit. Cukup mengejutkan mengingat beliau baru sakit sekitar 1-2 minggu, tapi memang kondisi terakhir sudah cukup drop.


Karena tiba di Jogja sudah jam 9 malam, ternyata itu jam terakhir beroperasinya bis TransJogja, aku pikir jam 10 seperti di Jakarta. Berbeda dengan TransJakarta, yang bis terakhir pasti berhenti di perhentian terakhir (sesuai jalur), di Jogja kalau sudah jam 9, bis akan selesai sesuai penumpang terakhir, biasanya tidak sampai penuh. Makanya kali ini aku berhenti di daerah Condong Catur, dan melanjutkan perjalanan pulang dengan Go-Jek, lumayan menghemat daripada harus naik langsung dari bandara.

08 October 2018

Dua Anjing Di Pinggir Jalan


Dua ekor anjing tampak bermain di pinggir jalan, dekat Bintaro Exchange Mall, entah apakah mereka sepasang atau tidak, yang jelas tampak akrab. Tidak tampak pemiliknya, dan mereka juga tidak mengenakan kalung / tali kekang.


Kedua anjing ini juga tampak jinak, dan tidak tampak kelaparan. Mereka tampak senang bermain, mondar-mandir di pinggir jalan, seperti tidak peduli dengan pengguna jalan yang melintas.


Semoga saja kedua anjing ini ada pemiliknya dan baik-baik saja.

30 September 2018

Gedung Parkir GBK


Lama tidak datang ke JCC, aku baru tahu kalau gedung parkir yang dibangun di sebelahnya sudah siap digunakan, meskipun masih dalam tahap percobaan. Seperti terlihat di sini, ada sekitar 4 lantai dengan akses lift, kalau gak salah ada 2 atau mungkin lebih. Areal parkir ini masih tampak sepi pagi ini, meskipun di JCC sendiri ada banyak kegiatan.


Seperti biasa, El menolak untuk masuk ke tempat ibadah, padahal sebelumnya dia sempat mau masuk dan duduk di ruang ibadah anak. Pas setelah ada seorang anak yang memberi tahu bahwa ruang untuk balita bukan di situ, El langsung beranjak keluar. Tempat parkir yang baru itu jadi tempat bermainnya.


Sebagian dari lantai paling atas gedung parkir, mungkin hampir 30%, dipakai untuk taman. Saat ini masih dalam pengembangan, jadi belum terlihat asri. Tapi kalau sudah jadi, pasti nyaman untuk nongkong dan merokok di sini. Benar-benar tidak egois, menurutku, karena kebutuhan akan lahan parkir pasti lumayan banyak.


Saat El bermain keluar dari gedung parkir, pas ada mobil paspampres yang sedang parkir, dan ada anjing herder milik petugas. El langsung bergegas menghampiri anjing itu untuk bermain. Meskipun tidak ganas, tapi pak petugas tetap memberi peringatan agar berhati-hati. Pasalnya pernah ada kejadian anjing ini menggigit anak kecil yang menghampirinya, bukan karena galak, tapi karena si anak lebih dulu memukul sang anjing sehingga terkejut. Petugas paspampres ini sangat ramah dan malah mengajak El untuk foto bareng.


Selama ini aku sangat jarang ke Jakarta, dan enggan membaca berita-berita tentang ibukota, jadi tidak begitu paham tentang "reformasi" lahan parkir di kawasan GBK ini. Tapi harus aku akui, perbaikannya sudah luar biasa. Hampir tidak ada "tukang parkir" di dalam kawasan ini, yang sebenarnya lebih mirip preman karena toh kendaraan sudah membayar parkir saat masuk kawasan. Aku ingat dulu bahkan Ahok sempat mengungkapkan sulitnya memberantas "mafia parkir" di sini, tapi yang terlihat di sekarang sepertinya bukan hal yang mustahil lagi.

Moga saja ini bukan hanya karena ada ajang Asian Games 2018, yang baru saja selesai.

27 September 2018

Perjalanan Ke Gambir, Tukar Tiket Kereta


Pagi ini aku harus bergegas ke Jakarta, lebih tepatnya ke St. Gambir, untuk menebus kesalahan konyol yang aku buat pagi ini juga.

Ceritanya aku memesan tiket kereta api untuk rencana perjalanan pulang untuk liburan akhir tahun nanti. Tiket berangkat menuju Kediri sudah aku beli, semua lancar dan masih bisa dapat tiket (90 hari sebelum keberangkatan, tiket sudah banyak yang beli). Karena takut kehabisan, aku sesegera mungkin membeli tiket untuk perjalanan pulang ke Kediri, di hari tiket itu tersedia secara online. Selain takut kehabisan, aku buru-buru membeli tiket di pagi hari karena mengejar promo cashback di Tokopedia. Secara total bisa dapat 100 ribu cashback, lumayan kan. Alangkah senangnya waktu transaksi pembelian berhasil dan mendapat cashback sebesar 45 + 65 = 110 ribu. Cihuuuyyy...

Tapi kegembiraanku langsung sirna, saat aku menyadari kesalahan konyol yang aku buat. Ternyata tiket yang aku pesan adalah untuk perjalanan dari Gambir ke Kediri, padahal aku harusnya beli tiket dari Kediri ke Gambir. Ampun dah .... Segera istriku menyarankan (baca: menyuruh) agar menukar tiket itu, takutnya kehabisan. Beli tiket bisa online, tapi pembatalkan tiket harus datang ke stasiun tertentu - paling dekat adalah St. Gambir dan St. Pasar Senen.


Jadinya aku mengajak El dalam perjalanan ini, tentu saja dia sangat antusias bepergian naik kereta. Waktu di cek oleh petugas tiket, dia sudah harus membeli tiket sendiri, tingginya sudah di atas 90cm. Seperti sebelumnya, sepanjang perjalanan dia terus berjalan sepanjang gerbong, sesekali melihat pemandangan dari balik jendela. Beberapa kali ada yang menawarkan tempat duduk, yang tidak kami terima karena toh El memang tidak mau duduk sepanjang perjalanan. Karena sudah cukup siang, kereta sudah cukup sepi.

Buru-buru, dan rasa jengkel karena melakukan kesalahan konyol yang fatal, aku jadi tidak benar-benar mempersiapkan perjalanan ini. Di tengah jalan ponsel kehabisan daya dan aku lupa membawa charger. Sebetulnya di hampir setiap stasiun kereta api tersedia tempat charging gratis, tapi ya apa daya, gak bawa charger. Padahal informasi tiket ada di ponsel, karena aku beli secara online.

Meskipun lebih dekat kalau kami turun di St. Tanah Abang, tapi aku memilih turun di St. Palmerah dan menuju St. Gambir naik taksi. Biar lebih nyaman buat El. Taksi Bluebird sebenarnya menyediakan charging di mobil, tapi entah mengapa dayanya seperti sangat lemah, tidak sanggup membuat ponsel menyala meskipun sudah di-charge hampir 10 menit.

Sampai di St. Gambir, aku langsung tanya ke petugas soal prosedur penukaran tiket. Aku disarankan untuk mengambil nomor antrian dulu, terus mengisi formulir pembatalan/penukaran tiket yang tersedia (formulir warna merah). Baru kemudian mengurus penukaran di loket. Aku tanya, kalau gak punya tiketnya gimana? Ya minimal harus punya kode booking, yang notabene masih tersimpan di ponsel. Beruntung, aku melihat ada petugas check-in yang sedang mengisi daya ponselnya, dan dia bersedia meminjamkan chargernya untukku. Perlu waktu hampir 15 menit agar ponselku bisa menyala penuh dan aku bisa mengambil nomor kode booking dari email. Toh karena antrian cukup banyak, waktu untuk antri masih lebih banyak dibanding waktu untuk mengisi daya.

Proses penukaran tiket sendiri cukup sederhana, cukup mengisi formulir dan fotocopy KTP (wajib bawa KTP asli juga). Hanya saja dendanya lumayan, 25%, yang artinya aku harus kehilangan 500 ribu karena kesalahan ini. Yang penting urusan beres, dan tiket liburan akhir tahun sudah di tangan. Oh ya, kalau ingin menukar tiket dengan keberangkatan mendadak, ada antrian prioritas. Jadi yang jadwal keberangkatannya di hari itu juga (kurang dari 60 menit) bisa langsung ke loket tanpa harus antri. Soalnya pas aku lagi di loket, ada bapak-bapak yang terlambat menukar tiket (sudah lewat 30menit), karena harus antri cukup lama. Dia, demikian juga aku, tidak tahu soal antrian prioritas ini.


Perjalanan pulang kembali naik taksi ke St. Palmerah dan lanjut naik kereta, yang isinya lebih sepi dibanding waktu perjalanan berangkat. Tapi tetap saja, El lebih suka mondar-mandir sepanjang gerbong.

Setidaknya ada dua orang yang bertanya kepadaku "Ibunya kemana?". Aku jawab singkat sambil tersenyum "Kerja".

Btw, saat aku naik taksi dari St. Gambir menuju St. Palmerah, ada rombongan presiden yang melintas. Aku sendiri tidak menyadari hal itu, dan baru tahu setelah supir taksi mendadak berkata, "Wah, RI 1, mau kemana tuh Jokowi", sambil tersenyum. Bagiku ini cukup istimewa. Soalnya seringkali aku merasa (sangat) terganggu dengan iring-iringan mobil pejabat yang seringkali berisik dengan sirene dan minta perhatian. Tapi kali ini justru iring-iringan mobil presiden melaju nyaris tanpa disadari pengendara mobil lain. Salut!

22 September 2018

Bulan Bintang dan Bulan Purnama


Memotret bulan purnama di sekeliling simbol bulan bintang yang ada di menara mushola baru yang sedang dibangun.


Bintaro View From Gramedia Building

Akhir tahun gak ada acara apa-apa, jadi iseng saja pergi ke Gramedia buat lihat-lihat buku, mumpung pandemi sudah berlalu. Ini pemandangan k...