Sebelum jam 8 pagi kereta sudah sampai St. Lempuyangan, tepat waktu sesuai jadwal. Sudah cukup lama aku gak ke stasiun ini, terutama karena pandemi, tapi memang lama juga gak pulang kampung naik kereta ekonomi.
Meski sempat baca kalau dari sini bisa langsung naik KRL dan turun di Prambanan, tapi aku masih ragu, jadi aku ikut arus penumpang turun saja, ikut keluar stasiun. Soalnya kalau di Jakarta juga begitu seingatku, jadi harus tap-in untuk naik KRL dari luar. Setelah keluar, barulah masuk kembali ke stasiun lewat jalur khusus penumpang KRL.
Dulu agak malas naik kereta Prameks (Prambanan Express) karena selain tidak praktis karena harus beli tiket dulu (antri) dan sering kehabisan, juga jumlah keretanya terbatas. Tapi sejak berubah jadi Commuter Line dan dibuat seperti model KRL di Jakarta (meskipun belum pakai listrik), aku rasa jadi lebih nyaman. Selain jadwal keberangkatan lebih pasti, juga lebih mudah untuk naik karena cukup pakai kartu elektronik, gak perlu beli tiket di loket. Selain itu gak perlu tiket tempat duduk, kalau gak kebagian ya bisa berdiri, yang bagiku sih gak masalah.
Di dalam kereta, tampak beberapa penumpang dengan santainya duduk sambil menyalakan laptop, entah kerja atau mengerjakan tugas kuliah, benar-benar rajin. Kalau aku sih milih istirahat saja, gak bisa fokus kalau kerja di kereta begini. Apalagi kereta di sini tidak stabil gerakannya.
Tiba di Stasiun Brambanan, alias Prambanan. Entah mengapa namanya jadi Brambanan dan bukan Prambanan, karena aku gak gitu paham daerah ini. Tapi stasiun ini berada di kecamatan Prambanan Klaten, dan dari Candi Prambanan yang terkenal jaraknya juga cuma sekitar 1km. Aku ingat dulu pernah debat dengan teman yang mau booking tiket ke Jogja dan dia menyebut Brambanan langsung aku protes, eh ternyata memang benar nama stasiunnya itu. Aneh.
Yang jelas ini pertama kali aku berada di stasiun ini. Jarak tempat ini dari tanah leluhurku (kakek/nenek baik dari pihak ibu maupun bapak) sekitar 1 km, dan aku hanya sesekali saja berkunjung ke sana waktu kecil dulu saat liburan. Jadi tidak terlalu menjelajah dan mengenal daerah sekitar ini.
Ternyata banyak juga penumpang yang turun di stasiun ini.
Dari stasiun ke rumah kami yang baru di daerah Beji tidak ada angkutan umum, jadi ya harus pakai ojek. Tapi karena jaraknya hanya sekitar 1 kilometer, dan aku juga pergi sendirian saja bawa satu tas, aku milih jalan kaki. Selain olahraga, juga refreshing menikmati suasana pedesaan yang udaranya masih lumayan segar. Cuma agak serem aja pas nyeberang jalan raya Jogja-Solo yang lumayan ramai.
Rumah-rumah di sekitar ini bervariasi, ada yang sudah dibangun dengan gaya modern, tapi ada juga yang masih mempertahankan atau membiarkan bangunan gaya lama atau kuno. Ditambah lagi atap tradisional dan cat yang warnanya sudah kusam menambah nuansa klasik pedesaan ini.
Sampai juga di lapangan Beji yang persis di sebelah sekolah dasar. Rumah keluarga besar bapakku ada di samping lapangan ini dan keluarga kami mendapat secuil petak tanah warisan yang tahun ini kami gunakan untuk membangun rumah yang kemudian dipakai untuk tinggal ibu dan kakakku. Syukurlah, masih ada rejeki untuk bisa membangun rumah meskipun sangat sederhana, setidaknya bisa untuk tempat berteduh tanpa harus menumpang atau kontrak.
Tembok bagian luar rumah bahkan masih berbentuk batako, belum dirapikan apalagi dicat. Tetap bersyukur.
Aku memang tidak memberitahu rencana kepulanganku ke ibu, jadi memang ini rencana dadakan dan ibu juga gak nunggu-nunggu. Makanya pas aku sampai di rumah, ibu masih tidur nyenyak, sementara mbak Rin sedang pergi membeli sarapan.
Menikmati sarapan sederhana di depan rumah.
Dulu waktu liburan sekolah memang aku sering bermain ke rumah kakek/nenek di sini, bersama sepupu-sepupuku yang sebagian juga merantau di luar kota.
Dulu lapangan ini sering dijadikan tempat pacuan kuda yang sangat ramai. Untuk menonton ada tiket masuknya, tapi karena rumah kami persis di samping lapangan, kami bisa masuk dengan gratis. Selain itu keluarga besar juga punya kesempatan untuk jualan di samping rumah, dan lumayan laris karena pengunjungnya ramai - jualan bakso, es kelapa muda, es campur dan berbagai minuman. Yang sempat bikin aku kaget adalah, air yang dipakai buat bikin minuman, kadang-kadang langsung diambil dari air sumur (mentah), tanpa dimasak dulu - lebih hemat dan praktis tentunya. Tapi ya sepertinya praktek ini lumayan umum dilakukan di daerah ini dulu, dan jaman dulu air tanah di sini masih lumayan bersih lah. Tapi tetap saja sejak tahu itu aku gak mau minta jajan di sana hehehe.
Meski hanya sebentar, setidaknya aku bersyukur bisa berkumpul dengan keluarga seadanya, masih bisa menjenguk ibu dan ngobrol ala kadarnya.
Setelah sarapan dan istirahat bentar barulah aku ziarah ke makan Bapak yang tak jauh dari rumah, menjadi satu dengan makan keluarga besar kami. Baru kali ini aku kesampaian untuk ziarah sejak Bapak meninggal kurang lebih 3 tahun lalu, akibat pandemi dan sebagainya jadi gak sempat pergi-pergi. Sudah ada batu nisan yang dipasang saat 1000 hari setelah Bapak meninggal sesuai tradisi pada umumnya.
Ada sedikit penyesalan mengapa dulu aku jarang pulang kampung dan menemui Bapak setelah aku lulus kuliah dan merantau di Jabodetabek. Memang sejak lulus SMA hubunganku dengan beliau tidak terlalu akrab, meski karena waktu juga akhirnya kami berbaikan, tapi aku tidak merasa perlu untuk sering-sering pulang ataupun menelpon. Ya seperlunya saja. Tapi setelah Bapak tidak ada, aku jadi berasa kehilangan teman ngobrol, meskipun kalau kami ngobrol biasanya obrolan yang tidak terlalu berisi, hanya cerita sana-sini diselingi gosip sekedar membuat waktu. Tapi apa yang jarang aku lakukan sekarang terasa berharga dan aku merindukan saat2 itu. Tanpa adanya bapak, pulang kampung jadi terasa berbeda.
Setelah ziaran di makan Bapak, aku sempatkan buat ziarah bentar di makan kakek dan nenek yang masih ada di lokasi pemakaman yang sama. Juga sempat membersihkan gulma yang ada di sekitar makam itu, semampuku karena terlalu banyak dan aku gak bawa parang atau arit. Habis ziarah aku istirahat dan tidur siang sebentar.